Bimbingan belajar islam terbesar di Indonesia dengan moto MAJU BERSAMA ALLAH MENUJU MASA DEPAN CEMERLANG
Senin, 16 November 2015
HUKUM TENTANG PRIVATISASI
HUKUM TENTANG PRIVATISASI
Pada era globalisasi saat ini kita sering mendengar istilah privatisasi. Apalagi perkara tersebut tertuang dalam LoI (Letter of Intent) antara IMF dan pemerintah. Bagaimana hukum dan pandangan Islam mengenai privatisasi?
Apa yang dilakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan dan badan-badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang haram menurut syara, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, negara tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual belinya bathil alias tidak sah.
Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah, benda-benda yang kepemilikannya telah dijadikan oleh asy-Syâri bagi jamaah kaum Muslim, dan mereka seluruhnya berserikat atas benda-benda tersebut. Dibolehkan bagi individu memanfaatkannya, tetapi mencegah individu untuk memilikinya1. Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum:
1. Barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya; seperti air, padang penggembalaan, dan sejenisnya. Nabi saw bersabda:
«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثٍ: اَلْمَاءُ وَالْكَلاَءُ وَالنَّارُ»
Masyarakat itu berserikat dalam tiga perkara (barang): air, padang gembalaan dan api. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw membolehkan perorangan (individu) untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan oleh orang banyak. Dari hadits-hadits ini diistinbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada (barangnya) maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik hal itu termasuk dalam tiga jenis barang, seperti yang disebutkan dalam hadits tadi, maupun (barang) lainnya yang tidak disebut.
2. Barang tambang yang memiliki deposit amat besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu meminta beliau agar memberinya tambang garam. Rasulullah pun memberikannya. Ketika Abyadl pergi, salah seorang sahabat di (dalam) majelis berkata kepada Rasulullah: ‘Tahukan engkau, apa yang engkau telah berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan) air mengalir’. Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut. Salah seorang sahabat tadi menyerupakan tambang garam dengan air mengalir, karena banyaknya deposit pada tambang garam tersebut. Hal ini mencakup juga setiap barang tambang yang depositnya sangat banyak, atau secara ekonomi sangat menguntungkan; seperti minyak, gas, pospat, tembaga, timah, emas, perak dan lain-lain.
3. Barang-barang yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu; seperti laut, sungai, atmosfer udara dan lain-lain.
Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Dalam hal ini peran negara hanyalah pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.
Maka dari itu, negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada siapa pun, apalagi pihak asing aset-aset yang menjadi milik umum. Sebab, ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat untuk menjualnya, dan rakyat pun menyetujuinya, maka negara tetap tidak boleh menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan kepada fakta tentang barangnya, bukan didasarkan pada yang lain, seperti persetujuan dan sebagainya. Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap sebagai kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi kepemilikan individu agar dapat dijual.
Lalu, jika aset yang dijual adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dahulu bahwa disamping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan umum, Islam juga membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah, setiap harta atau aset yang didalamnya ada hak untuk seluruh kaum Muslim (tetapi tidak tergolong kepemilikan umum) dan pengaturannya berada di tangan Khalifah2. Dengan demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu. Namun demikian perlu diingat bahwa kepemilikan negara berkaitan dengan hak-hak kaum Muslim dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh menimbulkan mudharat kepada kaum Muslim. Maka dari itu meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan aset-aset milik negara oleh pemerintah –sebagaimana yang terjadi dalam program privatisasi- hukumnya menjadi haram. Karena privatisasi telah menimbulkan kemudharatan, seperti yang telah diterangkan. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.
Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian orang banyak tidak dapat memanfaatkan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan manurut Islam, sesuai dengan firman Allah Swt:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Memang, ayat diatas mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang-orang kaya diantara umat Islam (aghniyâ’i minkum). Namun demikian ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab, jika harta tidak dibolehkan hanya beredar diantara orang kaya muslim, maka jika hanya beredar diantara orang-orang kaya kafir jelas-jelas lebih tidak dibolehkan lagi. Ini sesuai dengan mafhum muwâfaqah dalam ilmu ushul.
Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum Muslim. Dengan privatisasi, individu atau pun perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan perekonomian negeri-negeri Islam. Negeri-negeri Islam akan terjeremus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal ini diharamkan oleh Islam. Allah Swt berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (TQS. an-Nisa [4]: 141)
Keempat, privatisasi merupakan perantara (washilah) munculnya kemudharatan bagi kaum Muslim. Kita menyaksikan implikasi-implikasi langsung, bahwa privatisasi akan menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji karyawan, menghilangkan sumber-sumber pendapatan bagi negara, membebani konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi yang dibebankan keada perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalisme atas kaum Muslim. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum Muslim. Dan privatisasi adalah salah satu cara yang melempangkan jalan ke arah itu, maka haram pula hukumnya. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.
Privatisasi adalah program imperialis yang jahat, yang bertujuan untuk merampas harta kekayaan kaum Muslim dan menghancurkan perekonomian mereka. Privatisasi tidak boleh didiamkan oleh kaum Muslim, karena kaum Muslim akan turut berdosa jika berdiam diri dan ridha terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, kaum Muslim harus bangkit untuk mengkritik program tersebut, membantah siapa saja yang mempropagandakannya, serta melakukan segala daya upaya untuk mencegah dan menggagalkannya.
Kaum Muslim juga hendaknya sadar bahwa negara dan pemerintah mereka yang melaksanakan program tersebut, sebenarnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum kafir penjajah, bukan demi kepentingan rakyat dan umat. Dengan demikian sudah sepatutnya rezim yang seperti ini harus segera diganti dengan yang baru, yang benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat.
Jumat, 13 November 2015
TAQDIR, QADHA & QADAR
TAQDIR,
QADHA &
QADAR
PENDAHULUAN
Iman
kepada takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap Muslim, sebab hal ini
memiliki sandaran nash-nash Al-Quran yang pasti (qath’i) serta dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya.
Berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash
syara’ secara langsung. Istilah ‘Qadha dan Qadar’, sebagai istilah tertentu
yang bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qodha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar
yang bermakna takdir). Misalnya dalam shahih Bukhari hadits no. 6594-6620 dan shahih Muslim no. 2634-2664; yang
merupakan bab khusus tentang masalah takdir. Di dalam Al-Quran sendiri tidak
ada istilah ‘qadha dan qadar’ yang digabungkan itu dan keduanya hanya ditemukan
terpisah (lihat indeks Al-Quran, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal 536-537 tentang
al-qadar, dan hal. 546-547 tentang qadha).
Tiadanya istilah qadha dan qadar (yang
digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula) tersebut, karena memang masalah
ini baru muncul pada masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad
pertama Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
TAQDIR
DAN PENGERTIAN IMAN TERHADAPNYA
Seorang Muslim beriman dan yakin bahwa
semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah
Maha Mengetahui sesuatu/bersifat Al-‘Alim), baik kejadian yang telah terjadi,
sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh
Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum
luasnya ilmu Allah SWT ).
Inilah pengertian sederhana dari takdir
yang telah dijelaskan oleh Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW. Dengan kata lain
takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang
dimaksud dengan ‘segala sesuatu‘, termasuk benda-benda, manusia amal
perbuatannya, makhluk hidup lain, dan lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui
oleh Allah SWT. dan dituliskan di Lauhul
mahfuzh
Setiap Muslim wajib beriman kepada
takdir karena ia bagian dari rukun iman, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Umar bin Khatab; ketika itu Malaikat Jibril datang kepada
Nabi SAW dan bertanya :
“Coba
ceritakan apa iman itu? Lalu Rasulullah menjawab: Iman itu percaya kepada
adanya Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Kiamat dan
percaya kepada takdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR.
Muslim).
Seorang
yang tidak percaya kepada takdir, maka imannya cacat bahkan dapat
mengeluarkannya dari Islam, karena masalah ini telah tegas dijelaskan oleh nash-nash Al-Quran dan hadits
Rasulullah SAW, seperti ayat :
“Sesungguhnya
kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (Q.S.
Al-Qamar: 49).
Dalam
menafsirkan ayat ini Imam Asy-Syuyuti menyatakan:
“Kepercayaan
yang dipegang oleh Ahlus Sunah Wal Jama’ah adalah bahwa Allah SWT. Telah
mentakdirkan segala sesuatu. artinya telah mengetahui ukuran ,kondisi,
peraturan, dan waktunya, jauh sebelum
sesuatu itu terjadi. Oleh karena itu tidak ada sesuatu kejadian dilangit dan
bumi kecuali seluruhnya muncul dari ilmu, qudrah (kekuasaan) dan iradah
(kehendak) Allah SWT.” (lihat tafsir Imam Qurthubi juz XVII hal. 148).
Makna dari semua ini adalah bahwa Allah
SWT telah mengetahui segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dia
juga mengetahui ketetapan nasib seseorang di dunia ini maupun di akhirat kelak
(bahagia atau celaka, sukses atau gagal, kaya atau iskin, umurnya dsb).
Pahamilah, pembahasan masalah takdir
sebenarnya hanyalah kekuasaan Allah SWT. Takdir merupakan ilmu Allah dan
kekhususan bagi-Nya (ilmu Allah mencakup segala sesuatu karena ia memang
bersifa Al-‘Alim) dan mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya.
Hadits berikut ini menunjukkan wajibnya
iman kepada takdir dan larangan mengingkarinya:
“
Bagi setiap ummat akan muncul segolongan manusia yang berperilaku seperti
Majusi.Orang-orang Majusi mengatakan bahwa tidak ada takdir. Jika di antara
mereka ada yang meninggal, maka janganlah kalian menghadiri jenazahnya. Jika
mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab) mereka adalah (sama dengan) golongan
Dajjal. Memang pantas ketentuan tersebut,yaitu menghubungkan perilaku mereka
yang mirip dengan Dajjal, adalah ketentuan yang hak (benar) dari Allah SWT.”
(HR. Abu Dawud dari Hudzaifah, lihat sunnah Abu dawud. Juz, IV hal. 222).
Meskipun kita beriman kepada takdir
(ilmu) Allah SWT, tetapi janganlah mencampur-adukkan antara “iman kepada
takdir“ tersebut dengan “amal perbuatan manusia”, karena keduanya tidak ada
hubungan sama sekali. Artinya, Ilmu Allah (takdir) tidak pernah memaksa
seseorang untuk berbuat sesuatu dan
juga tidak pernah memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu.
Rasulullah SAW telah melarang para
shahabatnya mencampuradukkan pemahaman takdir dengan amal perbuatan manusia
yang dapat menyebabkan manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahwa ada perbedaan antara: apa-apa yang harus diyakini
dengan apa-apa yang harus dikerjakan !
Telah diriwayatkan dalam Shahih
Muslim dari Ali bin Abi Thalib r.a. Yang artinya:
“Rasululah SAW. suatu hari duduk-duduk (bersama para
shahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau
menggores-gores (tanah). lalu nabi mengangkat kepala dan berkata: “Setiap
kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tempatnya di Jannah (surga) dan Jahannam:
para shahabat (terkejut) lalu bertanya: “Kalau demikian ya Rasulullah apa
gunanya kita beramal? apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada
takdir)? Beliau menjawab: “ jangan! tetaplah beramal, setiap orang akan
dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya”. Lalu Rasulullah
membaca surat Al-Lail ayat 5-10”. (lihat Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi,
juz XVI , hal . 196-197).
Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa
manusia diciptakan dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar
ia mampu membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar
perbuatannya. Dengan demikian maka secara sukarela manusia akan memilih (tanpa
adanya unsur paksaan) suatu kehendaknya sendiri . karena sesungguhnya takdir
hanyalah pemberitahuan tentang ilmu Allah yang sangat luas. meliputi segala
sesuatu dari ilmu Allah tersebut tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
(lihat
Imam Al-Khattabi dalam aqidah Islam Sayyid Sabbiq, hal. 151)
Tak ada seorang manusia pun yang tahu
apa yang tertulis bagi dirinya di lauhul mahfuzh. Karena tidak bisa di benarkan
jika ada seseorang yang berkata: “saya
berbuat begini karena telah di tuliskan Allah SWT di Lauhul mahfuz harus
berbuat begini.” Karena, dari mana ia tahu bahwa Allah telah menuliskan
perbuatan tersebut baginya di Lauhul mafhuz?
Sesungguhnya beriman kepada takdir dalam
pemahaman yang benar, pasti akan memberikan semangat juang yang luar biasa.
Pemahaman yang utuh akan memberikan dorongan yang positif untuk meraih
kehidupan yang bahagia yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasulnya dalam
garisan syariat Islam. Selain itu hal tersebut juga akan memberikan juga
ketabahan dan keberanian dalam membela yang haq, berhati baja dalam
merealisasikan yang hal-hal yang haq serta menetapi segala kewajiban yang di
bebankan kepadanya. Tidak ada istilah lemah dan putus asa dalam kamus orang
yang beriman kepada takdir dengan pemahaman yang benar. Ia akan menjadi orang
yang bersyukur ketika langkah-langkahnya memberikan keberhasilan/kebaikan dan
ia akan menjadi orang yang sabar ketika langkah-langkahya tidak memberikan
keberhasilan.
QADHA DAN QADHAR SERTA
PENGERTIAN IMAN
TERHADAP KEDUANYA
Asal Mula Munculnya Istilah Qadha
dan Qodhar.
Akhir abad kedua merupakan masa
suburnya masa penaklukan oleh khilafah Islamiah ke seluruh penjuru dunia.
Banyak hal baru mulai ditemukan, termasuk usaha-usaha menerjemahkan paham-paham
di luar Islam semisal filsafat (Yunani). Kaum Muslimin mulai mengkaji filsafat
Yunani ia pada awalnya hanya semacam kebutuhan untuk menjawab tantangan dari
orang-orang nasrani. Filsafat ini dipakai sebagai alat untuk berdebat dengan
mereka setelah dari pihak Nasrani terlebih dahulu mempelajarinya untuk
mempertahankan aqidah mereka. Misalnya mereka telah menggunakan logika (manthiq) sebagai sesuatu yang penting
untuk membantu mereka dalam berpikir, berdialog maupun berdebat. Kaum Muslimin
tergerak hatinya untuk mempelajari filsafat Yunani untuk membantah
masalah-masalah yang dilontarkan fihak nasrani, terutama dalam bidang “kebebasan
bertindak” (free will). Di dalam
filsafat Yunani sendiri terdapat dua golongan besar yang mengartikan makna
kebebasan bertindak ini. Ada golongan “Efikure”,
suatu paham yang mengartikan kebebasan tersebut secara mutlak (serba boleh);
dan ada golongan ”Skeptisme” atau “Stoaisma”, suatu paham yang mengartikan
bahwa tidak ada paham kebebasan (serba menyerah). Golongan terakhir ini sering
disebut golongan “fatalisme “.
Setelah pasukan jihad kaum Muslimin telah
melakukan berbagai penaklukan (di Asia dan di Afrika). Barulah mereka mempunyai
waktu luang untuk berpikir. dengan tenang mereka mulai mengkaji berbagai
masalah baru yang timbul. Ketika itulah (akhir abad pertama atau memasuki abad
kedua hijriah) muncul permasalahan qadha dan qodhar. Masalah ini telah lama
menjadi bahan pembahasan filosofi Yunani. Ia juga menjadi pemahaman dan dikutip
oleh kalangan Nasrani dari sekte Suryanis.
Bahkan masalah ini juga telah lama menjadi pembahasan dari kalangan sekte Zarasutra.
Faham Qodhariah (Muktazilah)
Ketika Islam telah menyebar hampir
keseluruh penjuru dunia, kemunculan berbagai paham di dalam ajaran Islam sulit
dihindari. Oleh karena itu kemunculan dari segolongan kaum Muslimin yang
berpendapat bahwa manusia itu bebas berkehendak atau terlepas dari taqdir Allah
SWT adalah salah satu akibat persinggungan Islam dengan budaya setempat.
Golongan ini mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak. Dengan kata lain,
manusia memiliki kemampuan (qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabya
golongan ini disebut dengan “Qodhariah”. Mereka menolak pengaturan untuk segala
sesuatunya sesuai dengan taqdir (al-qodhar) maupun dalam ketetapan Allah. Faham
ini pertama kali dikembangkan oleh Wasil
bin Ata.
Secara garis besar, Muktazilah berpendapat bahwa manusia memiliki
kehendak (iradlah), kekuatan,
kekuasaan (kudrat, power) dan kebebasan (huriah, freedom) untuk berbuat atau tidak berbuat serta terlepas dari
kehendak, kekuasaan dan taqdir Allah. karena itu, menurut faham ini, wajar dan
adil apabila manusia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Golongan
ini memandang bahwa manusia sesungguhnya menciptakan segala perbuatannya dengan
ikhtiar dan kudratnya sendiri serta berdasarkan kehendaknya sendiri. Manusia
itu “mukhtar” (bebas memilih dan
menentukan). Jika ia mau maka ia kerjakan; jika tidak, maka ia tinggalkan.
Iradlah dan kudrat-Nya tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
Inilah faham indeterminasi (qodhariah)
dari filsafat Yunani yang merasuk ke pemikiran dunia Islam yang menyebabkan
banyaknya orang yang terselewengkan hanyut oleh pikiran melayang yang akhirnya
jatuh ke jurang kesesatan, bahkan pemikiran ini telah mengganggu persatuan
ummat. Golongan ini mengemukakan beberapa alasan, antara lain:
Pertama,
perbuatan manusia terdiri dari dua gerak yaitu gerak ikhtiariah dan idthiriah.
Tidak lah sama antara gerak memukul (sengaja) dengan tangan gemetar karena
ketakutan.
Kedua,
pelaksanaan hukum syara (taklif syara) pahala dan siksa terkait dengan iradhat dan kudrat. Orang yang tidak
mempunyai keduanya, bebas dari taklif syara.
Ketiga,
andaikan semua perbuatan manusia terjadi atas irodhat dan kudratnya maka semua
perbuatan tersebut dapat disandarkan (dilimpahkan) kepada Allah, maka perbuatan
seperti shalat, shaum, dusta, mencuri dan sebagainya semua kehendak Allah
semata. Jelas ini tidak mungkin.
Untuk mendukung pendapat mereka,
Muktazilah gemar menakwilkan ayat-ayat Al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran yang sering
dikutip adalah ayat-ayat yang menunjukan bahwa manusia mendapat balasan atas
perbuatannya. Misalnya:
“ Seseorang
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yakni (aneka nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan “. ( QS. As-Sadjadah 17)
Mereka berdalih bahwa sekiranya
perbuatan manusia itu bersasal dari Allah mengapa ada balasan dari Allah atas
perbuatan manusia. Oleh karena itu, maka perbuatan manusia haruslah datang
(berasal) dari manusia. Argumentasi seperti ini mereka ambil dari firman Allah
yang artinya:
“(Dan)
katakanlah: “kebenaran itu datangnya
dari Rabbmu maka, siapa saja yang ingin (beriman ) hendaklah ia beriman. dan
siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir ...” (QS. Al-kahfi 29).
Ayat tersebut mereka takwilkan sebagai
isyarat kebebasan: mau percaya atau tidak. Argumentasi mereka adalah kalau
perbuatan manusia bukan atas, kehendak manusia maka buat apa ayat itu
dimunculkan. Sebab, manusia dalam hal ini bukanlah robot (benda mati) yang
tanpa daya. Ia mempunyai gerak dan kemampuan untuk menentukan kehidupannya di
dunia, sebab, ada perintah agama untuk melakukanya dan ada pula larangannya.
Semua harus dilakukan oleh manusia yang sadar, dewasa, bertanggung jawab serta
serius.
Pada posisi yang demikian maka, Allah
memberikan kudrat-Nya secara penuh kepada manusia, keinginan untuk memilih dan
otak untuk berpikir, kepada mereka juga diutus para Rasul sebagai teladan dalam
berbuat dalam bidang batas-batas wajib, sunnah, haram makruh dst. Dalam
perkembangannya paham ini telah dirangkul erat-erat oleh ahli pikir barat yang
ingin menyesatkan kaum Muslimin dengan cara melepaskan mereka dari imanya serta
membawa ke dunia akal yang seluas samudra yang tidak berpantai.
Padahal Islam telah memulai risalahnya
dengan penanaman iman dan beriman kepada enam rukun iman yang dimulai beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah ikatan yang mengekang manusia dalam
menggunakan akalnya, yaitu segala sesuatu telah diberikan batas, dari garis
halal dan haram nya. Dengan cara ini, maka manusia tidak akan tergelincir
ataupun menyingkir.
Muktazilah adalah golongan yang
bergerak dalam tiga fungsi: agama-filsafat-politik. Nama lain muktazilah adalah
qodhariah, adliah,atau menyebut dirinya “Ahlul
Adliwat-Tauhid” (penganut paham keadilan dan keesaan Allah). Nama ini
muncul karena mereka memberikan haq bagi setiap orang untuk menerima atau
mengabaikan eksistensi dari sifat-sifat
Allah. Tidak ada paksaan dari Allah dan manusia memiliki kekuasaan (kudrat)
untuk meletakan pilihanya dalam hidup ini. Inilah keadilan itu karena manusia
tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu, bahkan manusia diberikan kebebasan.
Mereka berpendapat bahwa akal
diperlukan untuk mengetahui yang baik dan yang buruk sekalipun standar nilai tersebut ditentukan
oleh syariah-Nya. Sebab menurut mereka, nilai tersebut timbul karena disebabkan
adanya sesuatu yang menyebabkan ia baik atau buruk. Pada saat itulah akal
diperlukan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang pula yang buruk.
Faham Jabariah
Faham ini sangat bertolak belakang
dengan faham sebelumnya. Mengenai kemunculanya, ada yang berpendapat bahwa
paham jabariah muncul sebelum adanya muktazilah15) Tetapi Imam Sa’duddin At-Taftazani berpendapat
sebaliknya16). Namun perbedaan ini tidak terlalu penting. Sebab
fokus masalah yang ingin dibahas adalah bagaimana bentuk pemikiran yang muncul
disekitar masalah qodha dan qodhar.
Orang yang pertama memelopori faham
Jabariah adalah Zahmu bin Sofwan17 ).
Ia berkata bahwa manusia itu tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia harus
pasrah. Ia tidak mengerjakan sesuatu selain apa yang telah ditentukan, dan
bahwa Allah telah menakdirkan amal perbuatan manusia yang harus dikerjakan.
Juga Allah telah menciptakan amal perbuatan untuk manusia yang sama halnya
dengan penciptaan terhadap benda-benda. Ia tidak ubahnya seperti air yang mengalir,
angin yang berhembus, batu yang jatuh (tertarik gravitasi). Keadaan seperti ini
tidak ada bedanya dengan perbuatan manusia yang semuanya telah diciptakan oleh
Allah (berupa gerak dan perasaanya). Manusia melakukan sesuatu apapun sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah (Ia hanya berfungsi sebagai alat,
tidak lebih dari itu).
Sering kita menyebutkan pohon berbuah,
air mengalir, matahari terbit, awan menurunkan hujan, tanah menumbuhkan
tanaman. Atau dikatakan pula bahwa seseorang (Ahmad misalnya) menulis, hakim
menjatuhkan vonis, si Anu taat tapi di sini melakukan maksiat. Semua keadaan
dari perbuatan di atas masuk dalam pembahasan yang sama dengan sebelumnya,
yaitu situasi dan kondisi tersebut hanyalah sebatas objek.
Oleh karena itu, pahala dan siksa,
amal perbuatan adalah tidak lain hasil dari paksaan. Allah telah menakdirkan
terhadap diri seseorang sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar orang
tersebut mendapat pahala dan begitu juga kalau Allah telah menakdirkan
seseorang yang lain untuk melakukan amal perbuatan maksiat, maka orang tersebut
telah ditakdirkan untuk mendapat siksa.
Imam
Sa’duddin At-Taftazany18) menyebutkan golongan ini berpendapat
bahwa manusia tidak sekali-kali menguasai dirinya dalam setiap perbuatan,
apakah baik atau jahat. Ia tidak ada bedanya dengan benda-benda beku yang tidak
bernyawa dalam alam semesta ini. Manusia bukan subyek, melainkan hanya sebagai
obyek (kehendak dari luar). Dengan kata lain, manusia dipaksa oleh kekuatan
dari luar dirinya, yakni atas kehendak kekuasaan dari Allah. Ia tidak mempunyai
kebebasan untuk berkehendak (laa
hurriyyatul iradah), dan tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuatu.
Faham Ahlussunnah Wal jam’ah
Mohammad
Fuad Fachrudin19) mengatakan
bahwa kemunculan dua faham di atas, mendorong kalangan ulama Ahlussunnah,
seperti Abul Hasan Al-asy’ari dan Mansur Al-Maturidy20) memberikan jawaban untuk membela aqidah ummat
Islam agar tidak tersesat oleh faham Muktazilah (Qadariyah) maupun oleh
jabariyah.
Walaupun dikalangan Ahlussunnah Wal
Jama’ah terbagi dua golongan, tetapi
mereka sepakat bahwa manusia mempunyai (diberi) kebebasan berkehendak, berkuasa
dan berpengetahuan (knowledge),
tetapi hanya sampai pada ujung tertentu (ada batasnya/dibatasi). Faham ini
berpendapat bahwa sesungguhya dalam diri manusia ada kehendak berbuat dan ada
khasiat yang melahirkan perbuatan. Semua itu diciptakan Allah SWT tatkala
seseorang ‘memulai’ melakukan suatu perbuatan, sampai pada suatu ‘batas’ yang
saat ‘batas’ itulah Allah menentukan, jadi tidaknya perbuatan tersebut21)
. Jadi ketika seseorang akan/sedang berbuat maksiat atau perbuatan terpuji,
maka ketika itulah Allah menciptakan perbuatan tersebut bagi si hamba.
Kesimpulan itu diambil dari beberapa ayat Al-Quran, antara lain:
“Mereka
itulah penghuni Jannah. mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang
telah mereka kerjakan“ (QS. Al-Ahqaf 14)
Allah
juga berfirman :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupan-nya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya “ (QS. Al-Baqarah
266).
“(Dan)
katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu. Maka, siapa saja yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman. Dan siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia
kafir...” (QS. Al-Kahfi 29).
Dalam
pembahasan ayat-ayat tersebut, faham ini memunculkan sifat Maha Adil (keadilan)
Allah. Mereka mengaitkan sifat Maha Adil itu dengan dosa dan pahala, atau,
siksa dan kenikmatan, yang erat kaitannya dengan perbuatan.
BAGAIMANA
MENYIKAPI BERBAGAI FAHAM INI?
Demikianlah kaum Muslimin terpecah ke
dalam tiga golongan besar ketika mereka membahas amal/perbuatan menusia yang
dikaitkan dengan azas taklif, pahala dan siksa. Terjadinya golongan-golongan
tersebut disebabkan karena mereka menafsirkan beberapa ayat nash Al-Quran
tentang perbuatan manusia yang menurut mereka muncul atas kekuasaan manusia
sendiri, juga karena ada nash dari ayat Al-Quran yang menurut mereka menunjukan
bahwa perbuatan manusia tergantung kepada kehendak Allah. Golongan pertama dari
kalangan Muktazilah, golongan kedua dari golongan Jabbariah. Namun ada golongan
berada di tengah-tengah kedua golongan tersebut, yaitu dari kalangan
Ahlussunnah22)
Dasar
Pembahasan ‘Qadha dan Qadar’
Sesungguhnya, apabila kita meneliti
masalah ‘qadha dan qadar’ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna
tersendiri) akan kita dapati bahwa ketelitian bahasannya menurut kita untuk
mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembatasan ini atau dengan kata
lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini.
Sesungguhnya, dasar
pembahasan/permasalahan ini bukanlah hal-hal berikut:
(1) Tentang penciptaan perbuatan hamba, yakni,
apakah perbuatan itu diciptakan oleh Allah atau oleh dirinya sendiri.
(2) Juga bukan tentang ilmu Allah, yakni apakah
Allah SWT mengetahui atau tidak apa yang akan diperbuat oleh seorang hamba.
(3) Juga bukan tentang iradah Allah,yakni apakah
perbuatan manusia selalu sama atau berbeda dengan iradah/kehendak Allah.
(4) juga bukan tentang Lauhul mahfuzh, yakni
apakah perbuatan manusia akan selalu sama atau berbeda dengan apa yang
tertulius di Lauhul mahfuzh.
Memang, bukan perkara-perkara di atas tadi
yang menjadi dasar bagi pembahasan ‘qadha dan qadar’. Sebab tidak ada
hubunganya dalam pembahasan hal-hal tersebut di atas, dari segi ‘pahala dan
siksa’. Melainkan perkara-perkara tadi hanya berhubungan dengan ‘penciptaan’,
ilmu (Allah) yang sanggup meliputi segala sesuatu, iradah yang berkaitan dengan
segala kemungkinan-kemungkinan, dan kemampuan Lauhul Mahfuzh yang mencangkup
segala sesuatu. Hubungan ini jelas merupakan topik lain yang terpisah dari
topik ‘pahala dan siksa’ atas suatu perbuatan.
Dengan kata lain, masalah sebenarnya
dalam pembahasan ‘qadha dan qadar’, adalah pertanyaan:
Apakah manusia
itu dipaksa untuk melakukan ( atau meninggalkan ) suatu perbuatan (baik atau
buruk ), ataukah ia diberi kebebasan untuk memilih?
Inilah yang menjadi dasar pembahasan
masalah ‘qadha dan qadar’, yaitu ’perbuatan manusia’. Karena ‘perbuatan
manusia’ merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka
dalil-dalilnya pun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang
akan dibahas dalam tema qadha dan qadar ini.
Hakikat Perbuatan Manusia dan
Kejadian-Kejadian
yang Menimpa Manusia.
Sesungguhnya, apabila kita meneliti
suatu perbuatan/kejadian,yang dilakukan atau yang menimpa manusia,akan kita
jumpai bahwasanya manusia itu hidup dan beraktifitas di dalam dua wilayah.
(a)
Wilayah yang pertama adalah wilayah
yang dikuasai manusia, yaitu wilayah yang berada di bawah batasan/kontrol
tingkah lakunya dan di dalamnya terjadi perbuatan-perbuatan yang timbul karena
semata-mata pilihannya sendiri.
(b)
Wilayah yang kedua adalah wilayah yang
menguasai manusia, yakni wilayah dimana manusia berada di bawah kekuasaanya.
Dalam wilayah kedua ini terjadi perbuatan serta kejadian yang manusia tidak
memiliki peran sedikit pun. Manusia dipaksa menerimanya, baik perbuatan dan
kejadian itu dari dirinya atau yang menimpanya.
Perbuatan dan kejadian pada wilayah
pertama, mudah diketahui, semisal, apakah kita mau duduk atau
berjalan,makan-minum atau tidak,minum sirup atau khamr, berbakti atau durhaka
kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan pada
wilayah pertama ini, jelas dilakukan atas kesadaran dan kesuka-relaan manusia,
tanpa paksaan dari pihak manapun.
Adapun perbuatan dan kejadian yang
terjadi pada wilayah kedua, manusia tidak memiliki peran apapun atas
kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, suka rela maupun terpaksa,
karena memang berada di luar kekuasaan manusia.
Perbuatan dan kejadian-kejadian pada
wilayah kedua ini terdiri dari bentuk. Pertama,
kejadian yang ditentukan oleh nidzomul
wujud’ (sunnatullah/peraturan alam). kedua,
kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘nidzomul wujud’, namun tetap berada di
luar kekuasaan manusia, dia tidak dapat menghindari dan terikat dengan ‘nidzom
wujud’.
Adapun bagian yang pertama, yaitu
nidzom wujud’ telah memaksa manusia untuk tunduk di bawahnya. Oleh karena itu
manusia harus berjalan sesuai dengan ketentuannya, sebagai mana manusia
berjalan bersama alam semesta dan kehidupan sesuai dengan peraturan tertentu
yang tidak bisa dilanggarnya. Karenanya, kejadian-kejadian yang ada pada
wilayah ini muncul tanpa kehendak manusia.
Di sini manusia diatur, tidak bebas
memilih. Misalnya saja ia datang ke dunia ini dan akan meninggalkannya tanpa
kemauannya. Ia tidak dapat terbang di
udara hanya dengan tubuhnya. Ia tidak dapat menciptakan warna matanya sendiri.
Ia tidak bisa menciptakan bentuk kepalanya dan tubuhnya. Melainkan yang
menciptakan ini semua Allah SWT, tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun
dari hamba yang mahluk itu . Sebab hanya Allah lah yang menciptakan ‘nidzomul wujud’ itu sendiri. Dijadikannya sebagai alat pengatur (alam) ini.
Dan alam pun diperintahkan untuk berjalan sesuai dengan ketentuannya tanpa
kuasa untuk melanggarnya.
Adapun kejadian yang tidak ditentukan
oleh ‘nidzomul wujud’, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, adalah
kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang
sama sekali berada di luar kemampuannya untuk menolak. Seperti misalnya
seseorang yang jatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang
tertimpa tersebut tewas, atau seperti hal nya orang yang menembak burung tetapi
secara tidak sadar mengenai manusia hingga meninggal. Atau seperti halnya
kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak,
baik yang berasal dari manusia atau yang malah dikemampuannya, meskipun tidak
ditentukan oleh ‘nidzomul wujud’, akan tetapi tetap terjadi tanpa kehendak
manusia dan di luar kekuasaannya.
Kedua bentuk kejadian ini dapat kita
golongkan ke dalam wilayah yang menguasai manusia (wilayah kedua).
Segala kejadian yang terjadi pada
wilayah yang menguasai manusia, itulah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah.
Sebab Allah lah yang meng-qadha (memutuskannya).
Terlepas apakah hal/keputusan itu
menjadi kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut
penafsiran manusia. Yang jelas kebaikan/keburukan tersebut bukan menimpa kita
karena adanya ‘hari baik’, hari apes, memakai jimat/mantra dsb. Semua itu
diputuskan oleh Allah untuk menimpa manusia.
Oleh karena itu seorang hamba tidak
akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian itu
mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia, Manusia
tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh
atas kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu tentang kejadian tersebut,
bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama
sekali untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk
beriman akan adanya qadha. dan bahwasannya qadha itu datang dari Allah SWT,
bukan dari yang lain.
Memahami
Makna Qadar
Bahwasannya segala kejadian dan
perbuatan baik di wilayah yang menguasai manusia ataupun yang dikuasai manusia,
semuanya terjadi dari benda, baik benda itu termasuk dalam unsur semesta,
manusia maupun kehidupan.
Misal, Peristiwa tabrakan antar mobil
(benda, bersifat keras) dengan manusia; kebakaran, antara api dengan benda
lain, dsb.
Sesungguhnya, Allah SWT juga telah
menciptakan benda-benda tersebut beserta khasiat-khasiat/karakteristik
(sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Contohnya saja di dalam api
diciptakan khasiat ‘membakar’. Dalam kayu terdapat khasiat ‘terbakar’. Dalam
pisau (benda tajam) terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya.
Allah SWT telah menjadikan
khasiat-khasiat ini tunduk sesuai dengan ‘nidzom wujud’ yang tidak bisa
dilanggar lagi. Apabila suatu waktu tampak khasiat ini melanggar ‘nidzomul
wujud’, hal ini karena Allah SWT telah menarik khasiat tadi. Hal ini merupakan
sesuatu di luar kebiasaan, yang hanya terjadi bagi para nabi dan menjadi mukjizat
bagi mereka.
Sebagaimana halnya pada benda-benda
yang telah diciptakan khasiat-khasiatnya, maka pada diri manusia pun telah
diciptakan pula kebutuhan-kebutuhan jasmani (Hajatul Udlowiyah) dan
kebutuhan-kebutuhan naluri (gharizah-gharizah/ insting).
Pada Gharizah dan kebutuhan jasmani
ini telah ditetapkan pula khasiat-khasiat seperti benda-benda yang lain.
Misalnya saja pada gharizah melanjutkan keturunan (Gharizatun Nau’) diciptakan
suatu khasiat, yaitu berupa dorongan seksual. Di dalam kebutuhan jasmani
diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus dan sebagainya. Semua
khasiat-khasiat ini dijadikan Allah SWT dan tunduk sesuai dengan ‘nidzomul
wujud’ (peraturan alam).
Seluruh khasiat yang diciptakan oleh
Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada
manusia (gharizah serta kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan Qadar
(penetapan). Sebab hanya Allah sendiri yang menciptakan benda-benda,
gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat
di dalamnya, khasiat-khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari
unsur-unsur tersebut seperti pernyataan orang-orang atheis/materialis. Dalam
masalah ini, manusia sama sekali tidak
memiliki andil atau pengaruh apapun. Ia hanya diwajibkan untuk mengimani bahwa
yang menetapkan khasiat-khasiat dalam benda-benda tersebut hanyalah Allah SWT.
Seluruh khasiat ini memiliki “qabiliyyah” (tendensi/kecenderungan)
untuk digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal perbuatan. Apakah
perbuatan itu berupa kebaikan ataukah keburukan. Apabila digunakan sesuai
perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan ‘baik’. Sedangkan apabila
digunakan untuk melanggar aturan Allah SWT berarti ia telah berbuat ‘jahat’.
Baik ia melakukan perbuatan itu dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada
pada benda, atau denga memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya.
Makna Iman kepada Qadha dan Qadar,
Baik-buruknya
dari Allah SWT
Dengan demikian, perbuatan atau
kejadian yang terjadi pada wilayah yang menguasai manusia, datangnya dari Allah
SWT, apakah baik atau buruk. Dan khasiat-khasiat yang ada pada benda-benda.
gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani juga datangnya dari Allah, baik hal
itu bisa menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Oleh karena itu wajib bagi
semua seseorang Muslim untuk beriman kepada qadha, baik dan buruknya dari Allah SWT.
Dengan kata lain meng’I’tiqadkan
bahwasanya kejadian-kejadian yang berada di luar kekuasaannya adalah dari Allah
SWT. Dan wajib pula bagi seorang Muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan
buruknya dari Allah SWT. Baik khasiat-khasiat tersebut dapat menghasilkan
kebaikan atau keburukan. Manusia sebagai makhluk tiada mempunyai pengaruh
apapun dalam hal ini. Misalnya saja terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya,
semua dari Allah SWT. Sebagaimana pula kecendrungan seksualnya yang terdapat
pada gharizatun-nau’ atau kecendrungan untuk memiliki yang ada pada instink ‘survive’-nya (gharizatul-baqo’) atau rasa lapar dan haus yang
terdapat pada kebutuhan jasmaninya. Hal ini semua datang dari Allah SWT semata.
Amal
Manusia yang akan Dihisab
Demikianlah pembahasan yang berkaitan
dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada wilayah yang pertama, yaitu yang menguasai manusia dan pada
khasiat-khasiat seluruh unsur. Adapun pada wilayah yang kedua, yaitu yang dikuasai oleh manusia, maka
pada wilayah ini manusia berjalan ‘secara sukarela ‘ di atas ‘nidzom’ (peraturan)
yang dipilihnya, baik itu Syariat Allah SWT atau Syariat yang lainnya.
Pada wilayah ini terjadi kejadian dan perbuatan yang berasal atau menimpa
manusia disebabkan kehendaknya sendiri. ia berjalan, makan, minum dan
berpergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan api dan memotong
dengan pisau apa saja yang dikehendakinya. Dan ia memuaskan keinginan
seksualnya ataupun keinginan memiliki barang, atau keinginan perutnya dengan
cara apapun yang ia kehendaki. Ia ‘melakukannya’ dengan sukarela sebagaimana ia
‘tidak melakukannya’ juga dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas
perbuatan-perbuatannya di dalam wilayah ini.
Meskipun khasiat-khasiat pada benda,
ghazirah serta kebutuhan jasmani yang telah ditakdirkan oleh Allah dijadikannya
tunduk di bawah taqdir, namun hal itu mempunyai efek (bekas) pada hasil suatu
perbuatan. Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian , bukan khasiat-khasiat
ini yang melakukan perbuatan, melainkan
manusialah yang melakukan perbuatan disaat ia menggunakan
khasiat-khasiat tadi. Dorogan seksual yang terdapat pada gharizatun-nau’ memang
mempunyai ‘qabilah’ untuk kebaikan atau keburukan. akan tetapi yang melakukan
perbuatan baik atau buruk adalah manusianya itu sendiri, bukannya gharizah atau
kebutuhan jasmani.
Hal ini karena Allah SWT telah
menciptakan akal bagi manusia yang mampu membedakan. Di dalam tabiat akal ini
diciptakan kemampuan memahami serta membeda-bedakan mana yang baik (taqwa), dan
mana yang buruk, sebagaimana firman-Nya dalam QS. As-Syam 8 yang artinya:
“(Dan) ia pun memberinya ilham akan mana yang buruk dan mana yang taqwa.”
Dan di sisi lain, Allah telah
menunjukkan kepada manusia jalan baik dan buruk, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Balad 10 yang artinya:
“Telah
kami tunjukkan padanya dua jalan.”
Maka, apabila manusia memuaskan
panggilan gharizah dan kebutuhan jasmaninya sesuai dengan perintah dan larangan
Allah SWT berarti ia telah melakukan kebaikan dan berjalan di atas jalan taqwa.
Akan tetapi apabila ia memenuhi panggilan gharizah dan kebutuhan jasmani seraya
berpaling dari perintah Allah dan larangan-Nya, berarti ia telah melakukan
perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kejahatan. Jadi pada setiap dua
keadaan ini manusialah yang menghasilkan perbuatan, entah perbuatan itu baik
ataupun buruk. Entah perbuatan itu
berasal dari dirinya atau yang menimpanya. Dia sendirilah yang memenuhi
kebutuhannya sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, sehingga ia telah
berbuat jahat . Di atas dasar inilah manusia dihisab atas perbuatan-perbuatan
yang terjadi pada wilayah yang ia kuasai. Kemudian diberi pahala dan dosa
tergantung pada perbuatannya. Sebab ia melakukannya tanpa ada paksaan sedikit
pun.
Walaupun gharizah/instink dan
kebutuhan jasmani itu dari Allah serta kecenderungan untuk dipakai dalam
perbuatan baik dan buruk juga diciptakan oleh Allah, akan tetapi Allah tidak
menciptakan khasiat-khasiat ini dalam bentuk yang memaksa manusia untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan. Baik perbuatan itu diridlai oleh Allah atau dibenci-Nya. Melainkan
khasiat-khasiat ini dijadikan oleh Allah bisa berfungsi apabila digunakan oleh
manusia dalam bentuk yang tepat. Dan pada saat Allah menciptakan manusia
berikut gharizah-gharizah dan kebutuhan jasmaninya serta diciptakan pula
baginya akal yang sanggup membeda-bedakan, maka diberikan pula kepada manusia
kebebasan memilih untuk melakukan perbuatan atau meninggalkan tanpa pernah ada
paksaan.
Jadi manusia bebas untuk melakukan
suatu perbuatan ataupun meninggalkan-nya dengan menggunakan akalnya yang mampu
untuk membeda-bedakan. Dijadikannya akal sebagai sandaran ( manath) pembebanan kewajiban syariat.
Oleh karena itu Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik manusia, sebab
akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Sedangkan untuk perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan, sebab akalnya
telah memilih untuk melanggar perintah Allah dan larangan-Nya. Yaitu pada saat
manusia memenuhi tuntutan gharizah serta kebutuhan jasmaninya bukan dengan cara
yang telah diperintahkan oleh Allah. Jadi balasan terhadap perbuatan semacam
ini merupakan balasan yang hak serta
adil. Sebab manusia bebas memilih tanpa ada paksaan apapun.
Dalam masalah ini tidak ada urusannya
dengan qadha dan qadar. Akan tetapi masalahnya adalah tindakan si hamba sendiri
dalam melakukan sesuatu perbuatan secara sukarela. Oleh karena itu manusia
bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana firman Allah:
“ Setiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatsir
38).
Adapun halnya mengenai
ilmu/pengetahuan Allah terhadap sesuatu. Ilmu tersebut tidaklah memaksa si
hamba itu untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu perbuatan. Sebab Allah
telah mengetahui bahwa si hamba akan
melakukan perbuatannya secara sukarela. Dan perbuatan itu dilakukan oleh si
hamba bukan berdasarkan ilmu Allah melainkan telah menjadi ilmu Allah yang azali,
bahwasannya manusia akan melakukan perbuatan tersebut. Adanya tulisan di dalam
Lauhil Mahfudz tidak lain merupakan
perlambang (ta’bir) mengenal Maha Luasnya
Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
Demikian pula halnya dengan Iradah
Allah.Ia pun tidak memaksa si hamba untuk melakukan suatu perbuatan. Karena
yang dimaksud dengan iradah adalah Allah bahwasannya tidak akan terjadi sesuatu
apapun dikekuasan-Nya kecuali dengan Kehendak-Nya. Dengan kata lain tidak tidak
ada seduatu apapun di alam semesta ini yang terjadi berlawanan dengan
kehendaknya. Jadi apabila si hamba melakukan suatu perbuatan tanpa dicegah oleh
Allah dan tanpa dipaksa dan dibiarkannya melakukan secara sukarela, maka pada
hakekatnya perbuatan si hamba tersebut berdasakan Iradah Allah, bukan berlawanan dengan
kehendak-Nya. Perbuatan tersebut dilakukan oleh si hamba secara sukarela
berdasarkan pilihannya. Sedangkan iradah Allah tidak memaksanya untuk berbuat.
PENUTUP
Itulah masalah qadha dan qadar.
Masalah inilah yang dapat mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan
menjauhi kejahatan, apabila ia menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasinya
serta akan menghisabnya. Juga apabila ia menyadari bahwa Allah SWT telah memberikan kepadanya kebebasan memilih untuk melakukan suatu
perbuatan atau meninggalkannya. Apabila ia tidak pandai-pandai menggunakan hak
memilihnya ini, akan terperosoklah ia ke neraka dan akan mendapatkan siksa yang
pedih. Oleh karena itu seorang Mukmin sejati yang memahami hakekat qadha dan
qadar serta hakekat nikmat akal dan nikmat hak pilih yang telah dikaruniakan
oleh oleh Allah, akan kita dapati bahwa orang tersebut dan sangat hati-hati dan
takut (wara’) kepada Allah. Senantiasa berusaha melaksanakan perintah-perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena takut akan azab Allah serta merindukan
surga-Nya, dan merindukan apa yang lebih besar dari Surga, yaitu Keridlaan
Allah Subhanahu wa-Wata’ala.
Keterangan:
1 Lihat
“Ikhtisar Filsafat Barat”, Karangan A. Hanafi, halaman 17. Kamus “Teori dan
Aliran dalam Filsafat”. Karangan Drs.
Mudhafir, halaman 25 dan 85. Juga kitab “Tarikh al-Filsafah Al-Yunaniyah,
karangan Yusuf Karam, halaman 252-253.
2 Lihat Kitab
“Fajrul Islam”, karangan Ahmad Amin, halaman 283-303.
3 Sekte
Kristen ini tinggal disekitar wilayah Suriah.
4 Golongan penyembah Api. Mereka percaya bahwa
api itu sumber yang menghidupi manusia.
5 Opcit, Ahmad
Amin. Sebagian orang mereka menyebut mereka dengan golongan “Qadariyah”. Selin itu golongan ini
mempunyai kebiasaan berdebat. Mereka sering juga disebut dengan “Mutakallimin”, yaitu orang-orang yang
mengutamakan berdebat dalam bidang agama (Theologiche
Dialektika).
6 Opcit, Ahmad
Amin.
7 Lihat kitab
“Al-Aqa’id An-Nasyafiyah”, karangan
At-Taftazany, halaman 46-47.
8 Lihat buku “Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam”,
karangan TM. Hasbi Ash-Shidieqy, halaman 115-126.
9 Lihat buku “Sejarah Pemikiran Dalam Islam”,
karangan Muhammad Fuad Facruddin, halaman 158-174.
10 Opcit.,TM.
Hasbi Ash-Shidieqy.
11 Opcit.,
Muhammad Fuad Fachrudin.
12 Lihat buku “Teologi Islam” oleh Prof Dr. Harun
Nasution, halaman 115-174.
13 Opcit,
Muhammad Fachruddin.
14 Opcit,
Muhammad Fachruddin.
15 Opcit,
Ahmad Amin.
16 Opcit,
At-Taftazany.
17 Golongan ini
dikenal dengan nama golongan Jahmiyah
yang menisbatkan kepada pendiriannya, Jahm
bin Shofwan.
18 Opcit,
At-Taftazany.
19 Opcit,
Muhammad Fachruddin.
20 Dari
nama Ulama Ahlus-Sunnah ini, muncul golongan As’ariyah dan Maturidiyah.
21 Muhammad
Abbaas Aula, ceramah dan sari ceramah Qadha dan Qadar, dalam forum
Silatur-Rahim Mantan Lembaga Da’wah Kampus (3 september 1989) di kampus
Universitas Ibnu Khaldun, Bogor.
22 Lihat
Imam Ibnu Hazm dalam “Al-Fishal
Fil-Mihal wan-Nihal”, jilid III, halaman 51-164.
Langganan:
Postingan (Atom)