INGIN TAHU LEBIH BANYAK NURUL FIKRI. KLIK http://nurulfikri.co TELPON 021-59410357 / 089523587065 (SMS/WA/TELEGRAM)

Minggu, 06 Desember 2015

Foto siswa NF Cikupa dalam Permainan Game
















Saat memBENTAK meMARAHi anak,RUSAK milyaran sel OTAK anak ‘musnah’ !

Sekali membentak memarahi anak, milyaran sel otak anak ‘rusak musnah’ ! “Tahukan Anda di dalam setiap kepala seorang anak terdapat lebih dari 10 trilyun sel otak yang siap tumbuh. Satu bentakan atau makian mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga. Sebaliknya 1 pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 10 trilyun sel otak saat itu juga.” Dari beberapa artikel dan penelitian disebutkan bahwa, satu bentakan merusak milyaran sel-sel otak anak kita. Hasil penelitian Lise Gliot, berkesimpulan pada anak yang masih dalam pertumbuhan otaknya yakni pada masa golden age (2-3 tahun pertama kehidupan, red), suara keras dan membentak yang keluar dari orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Sedangkan pada saat ibu sedang memberikan belaian lembut sambil menyusui, rangkaian otak terbentuk indah. Penelitian Lise Gliot ini sendiri dilakukan sendiri pada anaknya dengan memasang kabel perekam otak yang dihubungkan dengan sebuah monitor komputer sehingga bisa melihat setiap perubahan yang terjadi dalam perkembangan otak anaknya. “Hasilnya luar biasa, saat menyusui terbentuk rangkaian indah, namun saat ia terkejut dan sedikit bersuara keras pada anaknya, rangkaian indah menggelembung seperti balon, lalu pecah berantakan dan terjadi perubahan warna. Ini baru teriakan,” ujarnya. Dari hasil penelitian ini, jelas pengaruh marah terhadap anak sangat mempengaruhi perkembangan otak anak. Jika ini dilakukan secara tak terkendali, bukan tidak mungkin akan mengganggu struktur otak anak itu sendiri. “Makanya, kita harus berhati-hati dalam memarahi anaknya,” Tidak hanya itu, juga mengganggu fungsi organ penting dalam tubuh. Tak hanya otak, tapi juga hati, jantung dan lainnya. Teriakan dan Bentakan menghasilkan gelombang suara. Ya, hampir semua orang mengetahui itu. Yang belum banyak diketahui orang banyak adalah, bentakan yang disertai emosi seperti marah menghasilkan suatu gelombang baru. Emosi negatif seperti marah mempunyai gelombang khusus yang merupakan gelombang yang dipancarkan dari otak. Gelombang ini dapat bergabung dengan gelombang suara orang yang berteriak. Nah, gabungan gelombang suara dan gelombang emosi marah ini menghasilkan gelombang ketiga dengan efek yang khusus. Efek dari gelombang ketiga ini adalah sifat destruktifnya terhadap sel-sel otak orang yang dituju. Dalam satu kali bentakan saja, sejumlah sel-sel otak orang yang dijadikan target akan mengalami kerusakan saat dia terkena gelombang ini, baik bila dia mendengar suaranya atau pun tidak. Hal ini karena gelombang ketiga ini tetap merambat sebagaimana dia gelombang suara tapi langsung ditangkap oleh otak sebagaimana gelombang otak. Efek kerusakan pada sel-sel otak akan lebih besar pada anak-anak yang dijadikan sasaran bentakan ini. Pada remaja dan orang dewasa mengalami kerusakan yang tidak sebesar anak-anak, tapi tetap saja terjadi kerusakan. Efek jangka panjangnya dapat dilihat pada orang-orang yang sering mengalami bentakan di masa lalunya. Mereka lebih banyak melamun serta termasuk lambat dalam memahami sesuatu. Orang-orang ini biasanya mudah meluapkan emosi negatif seperti marah, panik atau sedih. Mereka biasanya seringkali mengalami stress hingga depresi dalam hidup, karena kesulitan memahami pola-pola masalah yang mereka hadapi. Semuanya akibat dari sel-sel otaknya yang aktif lebih sedikit dari yang seharusnya. Oleh karena itu, sebagai orang tua, pendidik, ataupun orang yang lebih tua dari ‘mereka’, sebaiknya memilih sikap yang lebih kreatif dalam menghadapi tingkah anak yang mungkin kurang baik. Seringkali orang tua bukan mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan terjadi. Seharusnya orang tua mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak, sebelum membuat aturan. Jangan menyamakan anak dengan orang dewasa. Orang tua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh berbeda dengan orang dewasa. Jadi, ketika menetapkan apakah perilaku anak dinilai salah atau benar, patuh atau melanggar, jangan pernah menggunakan tolok ukur orang dewasa. Harus diakui, orang tua yang habis kesabarannya sering membentak dengan kata-kata yang keras bila anak-anak menumpahkan susu di lantai, terlambat mandi, mengotori dinding dengan kaki, atau membanting pintu. Sikap orang tua tersebut seperti polisi menghadapi penjahat. Sebaliknya, orang tua sering lupa untuk memberikan perhatian positif ketika anak mandi tepat waktu, menghabiskan susu dan makanannya, serta memberesi mainannya. Padahal seharusnya, antara perhatian positif dengan perhatian negatif harus seimbang. Mari yuk selalu memberi pujian tulus dan pelukan kasih sayang kepada anak-anak kita agar kelak menjadi anak yang cerdas berjiwa penuh kasih sayang. dan untuk mengembalikan kemampuan Otak anak anda dan juga Mental anak anda. Selamat Belajar sepanjang waktu, demi mencapai Harapan dan Cita-cita yang Gemilang untuk Masa Depan kita dan anak-anak kita.

Sabtu, 05 Desember 2015

Membuat aplikasi andoid dengan mudah

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Kali ini kami akan berbagi bagaimana caranya membuat aplikasi android dengan mudah, kenapa mudah ? karena hanya perlu 5 langkah saja dalam pembuatan aplikasi pada android ini, dan tentunya secara online, pastikan koneksi internet sobat stabil yah, biar ga ada kerusakan pada hasil aplikasi yang kita buat nanti. Langkah 1 Sobat Klik link ini AppsGeyser Langkah 2 Silahkan sobat klik login yang ada diatas sebelah kanan, sobat bisa login dengan akun facebook atau bisa juga Register New User, saran saya sih login dengan facebook saja karena tidak bertele-tele. Langkah 3 Sobat pilih create app, silahkan sobat pilih apa sebuah website aplikasi anda atau sebuah video kah silahkan sobat pilih, pilihan ada gambar WEBSITE, HTML KODE, YOUTUBE VIDEO. Jika sobat memilih website silahkan sobat isi URL website sobat. Langkah 4 Silahkansobat isi form tentang aplikasi sobat, setelah selesai mengisi form, lalu klik create app. Langkah 5 Selesai deh aplikasi sobat dan silahkan sobat download aplikasi sobat sendiri oKelah sobat-sobat silahkan sobat bagi-bagikan aplikasi sobat yang tadi sobat buat keteman-teman atau siapa saja yang sobat mau bagikan السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

PROGRAM BIMBEL NURUL FIKRI

SISWA SISWI NF CITRA RAYA YANG LULUS PTN 2015

NAMA /UNIVERSITAS /JURUSAN /ASAL SEKOLAH /JALUR ARINTA EKA DESTI MUSTIKA UNJ ILMU OLAHRAGA - S1 SMAN 4 KAB TNG/SMAN 1 CIKUPA SNMPTN AYU NUR FAZZA UNIBRAW SASTRA INGGRIS - S1 SMAN 3 KAB TNG/SMAN 1 CURUG SNMPTN FARAH HASNA PANGESTI UNDIP MATEMATIKA - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SNMPTN HANIFATUL ALYA IPB MATEMATIKA - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SNMPTN HARIO BUDIHARJO UNIBRAW TEKNIK INFORMATIKA - S1 SMAN 4 KAB TNG/SMAN 1 CIKUPA SNMPTN NIDA NAFSUL MUTHMAINNAH UNSRI TEKNIK SIPIL - S1 SMAN 19 KAB TNG SNMPTN NURUL HILALIYAH UNTIRTA PEND. MATEMATIKA - S1 SMAN 4 KAB TNG/SMAN 1 CIKUPA SNMPTN RENO PRASETYO UNTIRTA TEKNIK INDUSTRI - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SNMPTN SAEFUL BAHRI UNIBRAW EKONOMI ISLAM - S1 SMAN 3 KAB TNG/SMAN 1 CURUG SNMPTN SHIL HAMMIY UNDIP TEKNIK LINGKUNGAN - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SNMPTN VINNA MEILIANA UNIBRAW KEBIDANAN - S1 SMAN 3 KAB TNG/SMAN 1 CURUG SNMPTN YOSSY SHINTHYA HERNANDA UNILA MATEMATIKA - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SNMPTN YULY ANGGIANTO UNDIP TEKNIK KIMIA - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SNMPTN FIRDA FARIDA UI AKUNTANSI - S1 Kelas Intternasional SMAN CMBBS SERANG TALENT SCOUTING DIAH ISLAMIARTI IPB ILMU GIZI - D3 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA USMI ADITYA EKA YUDIYANTO UNTIRTA TEKNIK MESIN - S1 SMAS CITRA ISLAMI CIKUPA SBMPTN ADRI ARTI. R UGM AGRIBISNIS - S1 SMK SMTI YOGYAKARTA SBMPTN DANDI KUSUMA RAHMADI UNSIL MANAJEMEN - S1 SMAS CITRA ISLAMI CIKUPA SBMPTN DHEVI NANDA HARWIN UNTIRTA AGRIBISNIS - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SBMPTN MAHASTI DITA AYUTAMA UNPAD SOSIOLOGI - S1 SMAN 3 KAB TNG/SMAN 1 CURUG SBMPTN NUR AISAH AL MINA UNTIRTA PEND. BIOLOGI - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SBMPTN RIAN RAMADHAN UNP VETERAN JKT HUBUNGAN INTERNASIONAL - S1 PM DARUSSALAM GONTOR SBMPTN WIDYATMA AL FATHAN SATRIO UIN JKT PEND. MATEMATIKA - S1 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA SBMPTN YOSIA SITOMPUL UNIBRAW ILMU ADMINISTRASI BISNIS - S1 SMAN 3 KAB TNG/SMAN 1 CURUG SBMPTN FIRDA ZHAFIRAH UNPAD AKUNTANSI - S1 SMAN CMBBS SERANG SBMPTN AYU FITRI ANJANI UIN JKT PSIKOLOGI - S1 MA DAAR EL QOLAM SERANG SBMPTN ALIFIN NISSA NUGRAHENI UNTIRTA PEND.MATEMATIKA SMAN 6 KAB TNG SBMPTN YOFITA ULFA SAFIRA UNS K3 - D4 SMAN 3 KAB TNG/SMAN 1 CURUG MANDIRI HANIF MIFTA FINANTI POLTEKES ANALISA FARMASI DAN MAKANAN - D3 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA MANDIRI WENDYA NIDSY REVITA POLTEKES KEBIDANAN - D3 SMAN 1 KAB TNG/SMAN 1 BALARAJA MANDIRI

http://nurulfikri.co

INGIN TAHU LEBIH BANYAK NURUL FIKRI. KLIK http://nurulfikri.co

PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM

Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dengan dirinya dan dengan manusia sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian. Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah dan uqubat (sanksi). Dengan demikian Islam merupakan mabda (prinsip ideologis) yang ,mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan berupa teologi. Bahkan tidak ada kaitannya sedikit pun dengan sistem kepastoran. Islam menjauhkan otokrasi/teokrasi (kediktatoran pemerintahan agama, pent.). Di dalam Islam tidak ada istilah (sekelompok) ahli agama, juga tidak dijumpai istilah ahli politik. Setiap orang yang memeluk agama Islam disebut sebagai kaum muslimin. Semuanya sama di hadapan agama. Jadi di dalam Islam tidak ada istilah rohaniawan ataupun teknokrat. Adapun yang dimaksud dengan aspek kerohanian didalam Islam adalah, bahwa segala sesuatu itu adalah makhluk bagi Khaliqnya, yang teratur mengikuti perintah dan kehendak Khaliq.Berdasarkan tinjauan yang mendalam tentang alam, manusia, dan hidup, serta apa-apa yang berada di sekitarnya dan yang berkaitan dengannya, maka manusia dapat membuktikan kekurangan, kelemahan, dan ketergantungan dirinya. Ini dapat diindera dan disaksikan atas segala sesuatu yang berkaitan dengannya (yaitu alam semesta, manusia, dan hidup, pent.). Inilah yang menunjukkan secara pasti bahwa ketiganya adalah makhluk bagi Khaliq dan diatur menurut perintah dan kehendak-Nya. Dan bahwasanya manusia itu dalam menjalankan kehidupannya memerlukan sistem yang mengatur naluri dan kebutuhan jasmaninya. Tentu saja aturan itu tidak mungkin berasal dari manusia, karena ia bersifat lemah dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Juga karena pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat mungkin sekali terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Suatu hal yang hanya akan melahirkan tata aturan yang saling bertentangan, yang berakibat kesengsaraan pada manusia. Karena itu, peraturan tersebut harus berasal dari Allah SWT. Konsekuensinya, manusia harus menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan peraturan yang bersumber dari Allah SWT. Namun, apabila dalam mengikuti peraturan ini berdasarkan hanya pada adanya manfaat di dalam peraturan, bukan berdasarkan pada kesadaran bahwa peraturan tersebut bersumber dari Allah, tentu tidak terdapat aspek kerohanian didalamnya. Berdasarkan hal ini, hendaknya seluruh amal perbuatan manusia diatur berdasarkan perintah dan larangan Allah, yang dilandasi oleh kesadaran manusia terhadap hubungannya dengan Allah SWT, sehingga akan terwujudlah ruh dalam amal-amal perbuatannya. Dengan kata lain harus ada kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan kesadarannya ini manusia akan menyesuaikan seluruh amal perbuatannya sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Sehingga ruh akan nampak pada saat melakukan setiap amal perbuatannya. Arti ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan menggabungkan ruh dengan materi adalah terwujudnya kesadaran akan hubungannya dengan Allah, tatkala ia melakukan amal perbuatan. Dengan demikian, manusia akan menyesuaikan setiap amal perbuatannya dengan peintah Allah dan larangan-Nya berdasarkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Amal perbuatan bersifat materi, sedangkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah tatkala melakukan setiap perbuatan dinamakan ruh. Penggabungan antara amal perbuatan dengan perintah Allah dan larangan-Nya yang didasarkan pada kesadaran hubungannya dengan Allah, itulah yang dimaksud dengan menyatukan materi dengan ruh. Atas dasar penjelasan ini maka kesesuaian amal perbuatan orang yang bukan muslim dengan hukum-hukum syari’at yang digali dari Al-Quran dan Sunah tidak tergolong sebagai aktivitas yang dipengaruhi oleh ruh. Bahkan penggabungan materi dengan ruh tidak ada sama sekali dalam perbuatannya itu, sebab, ia tidak beriman kepada Islam. Dengan sendirinya ia tidak menyadari hubungannya dengan Allah. Ia hanya mengambil hukum-hukum syariat itu sebagai peraturan yang dikaguminya, yang mengatur segala amal perbuatannya. Berbeda halnya dengan seorang muslim yang melakukan segala perbuatan sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT yang dibangun berlandaskan kesadaran hubungannya dengan Allah, dan tujuannya hanya mencari keridlaan Allah SWT, bukan sekedar mendapatkan manfaat dari peraturan. Karena itu, harus terdapat aspek rohaniah dalam segala sesuatu, dan harus ada ruh tatkala melakukan seluruh amal perbuatan. Setiap orang harus memahami dengan jelas bahwa arti aspek kerohanian adalah segala sesuatu itu merupakan makhluk bagi Khaliq/. Ia adalah penghubung makhluk dengan Khaliq-nya. Sedangkan ruh adalah kesadaran tentang hubungan ini, -yaitu kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian dan ruh. Inilah satu-satunya persepsi/ mafhum yang benar. Diluar persepsi itu adalah salah. Tinjauan yang mendalam dan cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia, inilah yang telah menghantarkan kepada hasil pemikiran yang benar, serta telah menghasilkan persepsi yang benar. Sebagian agama memandang bahwa alam terdiri dari dua jenis, yang dapat diindera dan yang abstrak (ghaib). Manusia terdiri dari aspek kerohanian dan jasmani. Di dalam kehidupan terdapat unsur materi dan aspek rohani. Bahwa unsur materi itu berlawanan dengan perkara ghaib. Karena itu, aspek kerohanian tidak akan pernah bertemu dengan unsure materi. Keduanya terpisah. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dilihat dari hakekatnya, dan tidak mungkin keduanya disatukan. Setiap usaha untuk memperkuat salah satu dari keduanya justru akan memperlemah salah satunya. Berdasarkan hal ini maka orang yang menghendaki kehidupan akhirat harus memperkuat aspek spiritualnya. Dari sini timbullah dalam agama Masehi dua kekuasaan, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik, yang terkenal dengan semboyan: ‘Berilah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar, dan apa yang menjadi milik Allah untuk Allah’. Sementara itu, yang menguasai kekuasaan spiritual adalah para pastor dan gerejawan, yang selalu berusaha untuk mengambil alih kekuasaan politik agar berada di tangannya. Maksudnya agar mereka dapat memperkuat kekuasaan spiritual atas kekuasaan politik dalam kehidupan. Akibatnya muncul pertentangan antara kekuasaan spiritual dengan kekuasaaan politik. Pada akhirnya disepakati bahwa para gerejawan diberi hak otonom dalam kekuasaan spiritual dan tidak boleh mencampuri kekuasaan politik. Agama telah dipisahkan dari kehidupan, karena bersifat teokratis/ritual belaka. Pemisahan antara agama dan kehidupan inilah yang menjadi akidah bagi mabda kapitalis, sekaligus menjadi asas peradaban Barat. Ini pulalah yang menjadi qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) yang dipropagandakan imperialis Barat ke seluruh dunia, dan selalu mereka propagandakan serta dijadikan tonggak kebudayaannya. Dengan asas itu mereka berusaha menggoncang akidah kaum muslimin terhadap Islam. Mereka menyamakan Islam dengan agama masehi (Nashrani), dengan analogi menyeluruh. Dengan demikian siapa saja yang mempropagandakan “pemisahan agama dari kehidupan” atau “pemisahan agama dari negara dan politik” tidak lain –mereka- hanyalah pembebek yang dipengaruhi dan disetir oleh qiyadah fikriyah Barat, menjadi kaki tangan para penjajah -tanpa dilihat lagi apakah berniat baik atau buruk-. Orang semacam ini bisa dikatakan bodoh, tidak mengerti Islam, atau bahkan musuh yang menentang Islam. Islam mengaggap bahwa segala sesuatu yang dicerap oleh indera adalah hal-hal yang berbentuk materi. Sedangkan aspek kerohaniannya adalah keberadaannya sebagai makhluk. Dan ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Tidak ada sesuatu yang terpisah antara aspek ruhiyah dengan materi. Tidak ada dalam diri manusia mengintensifkan rohani dan menggelandangkan jasmani. Yang ada pada diri manusia adalah kebutuhan jasmani dan naluri yang harus dipenuhi. Diantara naluri-naluri itu terdapat naluri beragama, yaitu kebutuhan terhadap Sang Pencipta dan Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia secara alami dalam proses kejadiannya. Pemenuhan naluri-naluri itu tidak disebut sebagai aspek kerohanian ataupun aspek materi, melainkan hanya sekedar penyaluran saja. Namun demikian, apabila kebutuhan jasmani dan naluri itu disalurkan menurut aturan-aturan Allah disertai kesadaran akan hubungannya dengan Allah, berarti dia telah sejalan dengan ruh. Tetapi jika kebutuhan jasmani dan naluri dipenuhi tanpa aturan, atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, maka hal itu hanya merupakan pemenuhan materi/jasmani semata, yang mengakibatkan kenestapaan manusia. Naluri melestarikan jenis, misalnya, apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, hal ini akan menyebabkan kesengsaraan manusia. Sebaliknya, apabila terpenuhi dengan tata-aturan perkawinan yang berasal dari Allah SWT, sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka perkawinan itu akan menghasilkan ketenteraman. Contoh lain adalah naluri beragama. Apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, misalnya dengan menyembah patung atau menyembah sesama manusia, maka hal ini termasuk perbuatan syirik dan kufur. Sebaliknya, apabila dipenuhi dengan hukum-hukum Islam, maka pemenuhan tersebut merupakan ibadah. Adalah suatu keharusan untuk selalu memelihara aspek kerohanian dalam segala perkara, dan selalu menyesuaikan seluruh amal perbuatan dengan perintah dan larangan Allah, dengan dilandasi atas kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, hendaknya sesuai dengan ruh. Jadi, dalam satu amal perbuatan tidak ada dua unsur (spiritual dan materi). Yang ada hanya satu macam saja, yaitu amal perbuatan itu sendiri. Adapun sifatnya, apakah termasuk materi belaka ataukah berjalan sesuai dengan ruh, hal ini bukan berasal dari amal perbuatan, melainkan berasal dari apakah amal perbuatan berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam atau tidak. Seorang muslim yang membunuh musuhnya di medan perang, perbuatannya itu termasuk jihad. Ia memperoleh pahala karena telah berbuat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sedangkan seorang muslim yang membunuh jiwa yang suci (baik muslim maupun non muslim) tanpa alasan –yang dibenarkan syariat Islam-, perbuatannya itu termasuk tindakan kriminal. Ia memperoleh sanksi karena telah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan perintah dan larangan Allah. Dua tindakan ini sebenarnya satu macam, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seorang manusia. Pembunuhan bisa menjadi ibadah tatkala dilakukan berdasarkan ruh, dan bisa menjadi kejahatan apabila dilakukan tidak sesuai dengan ruh. Karena itu, sudah selayaknya seorang muslim menyertakan ruh pada setiap amal perbuatannya. Jadi, penggabungan antara ruh dengan materi bukan saja perkara yang dianggap mungkin terjadi, tetapi memang harus dilakukan. Artinya, tidak boleh memisahkan materi dengan ruh. Tidak boleh memisahkan setiap perbuatan dengan keterikatannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT, yang dilandasi kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan demikian, setiap usaha pemisahan antara aspek kerohanian dengan materi harus dihindari. Sebab, di dalam Islam tidak ada profesi keagamaan. Tidak ada kekuasaan agama dalam arti teokrasi. Juga tidak ada kekuasaan politik yang terpisah dari agama. Islam adalah agama dimana negara menjadi salah satu bagian dari agama. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai hukum, yang kedudukannya sama dengan hukum-hukum tentang shalat. Negara merupakan satu-satunya metode untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan menyebarluaskan dakwahnya. Setiap usaha yang akan menyudutkan agama dengan ar ti ritual belaka dan menyingkirkannya dari arena politik dan pemerintahan, harus disingkirkan. Yayasan-yayasan yang mengelola aktivitas kerohanian hendaknya ditiadakan. Badan pemerintah yang mengurus masjid dihapus, lalu pengaturannya dialihkan kepada Departemen Pendidikan. Demikian pula mahkamah-mahkamah syariat dan sipil dirombak, dan dijadikan peradilan tunggal, yang hanya menerapkan hukum Islam. Sebab, kekuasaan Islam itu adalah kekuasaan tunggal. Islam adalah akidah dan peraturan (syariat). Akidah Islam adalah beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, serta Qadla dan Qadar -bahwa baik buruknya dari Allah SWT-. Islam membangun akidah berdasarkan pembuktian akal dalam hal-hal yang dapat dijangkau oleh akal. Seperti iman kepada wujud (keberadaan) Allah, kenabian Muhammad SAW, dan terhadap (mukjizat) Al- Quran Al-Karim. Dan Islam membangun hal-hal yang ghaib, yaitu perkara yang akal tidak mungkin mampu menjangkaunya. Seperti Hari Kiamat, keberadaan malaikat, Surga dan Neraka, yang didasarkan pada pengakuan dan penyerahan total, yang bersumber dari sesuatu yang telah terbukti kebenarannya melalui akal, yaitu Al-Quran Al-Karim dan Hadits mutawatir. Disamping itu Islam telah menjadikan akal sebagai obyek hokum (taklif). Adapun yang dimaksud dengan peraturan Islam, adalah hukum-hukum syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Peraturan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Hanya saja dalam bentuk-bentuk yang umum (garis besar), dan dengan makna-makna (petunjuk) yang umum pula. Sedangkan rinciannya dapat digali dari berbagai makna-makna umum tadi tatkala menerapkan hukum-hukum tersebut. Didalam Al-Quran dan Hadits Syarif telah terhimpun garis-garis besar, yaitu mencakup berbagai keterangan umum untuk memecahkan berbagai urusan manusia secara universal. Para mujtahid diberikan kebebasan untuk menggali keterangan-keterangan umum tersebut menjadi hukum-hukum yang terperinci, tentang berbagai macam problematika yang muncul sepanjang masa dan diberbagai tempat yang berbeda. Islam hanya memiliki satu metoda (thariqah) dalam memecahkan berbagai macam problematika, yaitu dengan cara mendorong seorang mujtahid untuk mempelajari persoalan- persoalan yang baru, sehingga benar-benar memahaminya. Kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan pada akhirnya mengambil kesimpulan hukum untuk memecahkan persoalan itu berdasarkan nash- nash syara’. Dengan kata lain seorang mujtahid menggali hokum syara’ tentang persoalan tersebut dari dalil-dalil syar’i. Secara mutlak ia tidak menempuh jalan yang lain. Namun demikian tatkala ia mempelajari persoalan tersebut, ia harus mempelajarinya sebagai salah satu persoalan manusia secara universal dan tidak menganggapnya sebagai persoalan ekonomi, sosial, atau pemerintahan saja, atau yang lainnya. Hal itu dilihatnya sebagai persoalan yang memerlukan ketentuan hukum syara sehingga dapat diketahui hukum Allah yang berkaitan dengannya.

Foto siswa siswi NF Citra raya Belajar

Jumat, 04 Desember 2015

KEPEMIMPINAN BERFIKIR DALAM ISLAM

Ikatan kebangsaan (Nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat dimana mereka hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan nasionalisme, yang tergolong ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. Ikatan ini tampak juga dalam dunia binatang serta burung-burung, dan senantiasa emosional sifatnya. Ikatan semacam ini muncul ketika ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Tetapi bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh tersebut dapat dilawan dan diusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Karena itu, ikatan ini rendah nilainya. Adapun ikatan kesukuan (sukuisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit. Ikatan ini mirip dengan ikatan kekeluargaan, hanya sedikit lebih luas. Munculnya ikatan kesukuan karena manusia pada dasarnya memiliki naluri mempertahankan diri, kemudian dalam dirinya mencuat keinginan untuk berkuasa. Keinginan itu muncul hanya pada individu yang rendah taraf berfikirnya. Apabila kesadarannya meningkat dan pemikirannya berkembang, maka bertambah luaslah wilayah kekuasaannya, sehingga timbul keinginan keluarga dan familinya untuk berkuasa. Keinginan tersebut terus melebar sesuai dengan perkembangan pemikirannya, sampai suatu saat timbul keinginan sukunya berkuasa di negeri tersebut. Apabila mereka telah mendapatkan kekuasaan itu, ia pun ingin sukunya menguasai bangsa-bangsa yang lain. Inilah yang menjadi penyebab timbulnya berbagai pertentangan lokal antar individu dalam sebuah keluarga yang saling berebut pengaruh. Sehingga apabila seseorang telah berhasil menjadi pemimpin dalam keluarga itu —tentunya setelah lebih dahulu memenangkan persaingan dengan anggota keluarga yang lain— perselisihan pun beralih antara keluarga itu dengan keluarga-keluarga lain, yang masing-masing berusaha menundukkan yang lainnya dalam soal kepemimpinan, sampai akhirnya dimenangkan oleh satu keluarga tertentu atau dicapai oleh beberapa keluarga yang bergabung menjadi satu. Tetapi tidak lama kemudian timbul lagi perselisihan baru antara kelompok keluarga itu menghadapi kelompok keluarga yang lain, dalam soal kharisma dan kepemimpinan. Keadaan seperti ini menimbulkan rasa fanatisme golongan (ta’ashub) dalam diri anggota ikatan ini. Mereka dikuasai oleh hawa nafsu dalam usahanya membela anggotanya terhadap anggota suku yang lain. Dengan demikian, ikatan semacam ini tidak sesuai dengan martabat manusia. Ikatan ini senantiasa menimbulkan berbagai pertentangan intern, kalau tidak disibukkan dengan berbagai perselisihan dengan pihak luar (keluarga, suku, bangsa, dan lain-lain). Berdasarkan hal ini, ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang rusak (tabi’atnya buruk) karena tiga hal: (1) Karena mutu ikatannya rendah, sehingga tidak mampu mengikat antara manusia satu dengan yang lainnya untuk menuju kebangkitan dan kemajuan. (2) Karena ikatannya bersifat emosional, yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, yaitu untuk membela diri. Di samping itu ikatan yang bersifat emosional sangat berpeluang untuk berubah-ubah, sehingga tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain. (3) Karena ikatannya bersifat temporal, yaitu muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Sedangkan dalam keadaan stabil, yaitu keadaan normal, ikatan ini tidak muncul. Dengan demikian, tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia. Demikian pula halnya dengan ikatan kesukuan termasuk ikatan yang rusak karena tiga hal: (1) Karena berlandaskan pada qabilah/keturunan, sehingga tidak bisa dijadikan pengikat antara manusia satu dengan yang lainnya menuju kebangkitan dan kemajuan. (2) Karena ikatannya bersifat emosional, selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri memper tahankan diri, yang didalamnya terdapat keinginan dan ambisi untuk berkuasa. (3) Karena ikatannya tidak manusiawi, sebab menimbulkan pertentangan dan perselisihan antar sesama manusia dalam berebut kekuasaan. Karena itu, tidak bisa menjadi pengikat antara sesama manusia. Selain ikatan-ikatan yang rusak tadi, masih terdapat ikatan lain yang dianggap oleh sebagian orang sebagai alat untuk mengikat anggota masyarakat, yaitu “ikatan kemaslahatan” dan ikatan kerohanian yang tidak memiliki suatu peraturan. Ikatan kemaslahatan tidak lain ikatan yang temporal sifatnya, tidak bisa dijadikan pengikat antar manusia. Hal ini disebabkan adanya peluang tawar menawar dalam mewujudkan kemaslahatan mana yang lebih besar, sehingga eksistensinya akan hilang begitu satu maslahat dipilih atau didahulukan dari maslahat yang lain. Apabila kemaslahatan itu telah ditentukan, berakhirlah persoalannya. Kemudian orang-orangnya pun membubarkan diri, karena ikatan itu berakhir tatkala maslahat telah tercapai. Jadi, ikatan ini amat berbahaya bagi para pengikutnya. Adapun ikatan kerohanian yang tidak memiliki peraturan, aktifitasnya hanya terlihat dari kegiatan spiritual saja. Ikatan ini tidak nampak dalam kancah kehidupan, bersifat parsial (terbatas pada aspek kerohanian semata) yang tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga tidak layak menjadi pengikat antar manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Dari sini jelas bahwa akidah yang dianut kaum Nashrani tidak dapat dijadikan pengikat antar bangsa-bangsa Eropa, walaupun semuanya menganut akidah tersebut, karena tergolong ikatan kerohanian yang tidak memiliki peraturan hidup sama sekali. Seluruh ikatan tadi tidak layak dijadikan pengikat antar manusia dalam kehidupannya, untuk meraih kebangkitan dan kemajuan. Ikatan yang benar untuk mengikat manusia dalam kehidupannya adalah aqidah aqliyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh. Inilah yang disebut sebagai ikatan ideologis (berdasarkan pada suatu mabda/ideologi.) Mabda adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud akidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari akidah tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan pemecahannya, memelihara akidah serta untuk mengemban mabda. Penjelasan tentang cara pelaksanaan, pemeliharaan akidah, dan penyebaran risalah dakwah inilah yang dinamakan thariqah. Sedangkan yang selian itu, yaitu akidah dan berbagai pemecahan masalah hidup tercakup dalam fikrah. Jadi mabda mencakup dua bagian, yaitu fikrah dan thariqah. Mabda muncul di benak seseorang, baik melalui wahyu Allah yang diperintahkan untuk mendakwahkannya atau dari kejeniusan yang nampak pada diri orang itu. Mabda yang muncul dalam benak manusia melalui wahyu Allah adalah mabda yang benar. Karena bersumber dari Al-Khaliq, yaitu Pencipta alam, manusia, dan hidup, yakni Allah SWT. Mabda ini pasti kebenarannya (qath’i). Sedangkan mabda yang muncul dalam benak manusia karena kejeniusan yang nampak pada dirinya adalah mabda yang salah (bathil). Karena berasal dari akal manusia yang terbatas, yang tidak mampu menjangkau segala sesuatu yang nyata. Disamping itu pemahaman manusia terhadap proses lahirnya peraturan selalu menimbulkan perbedaan, perselisihan, dan pertentangan, serta selalu terpengaruh lingkungan tempat ia hidup. Sehingga membuahkan peraturan yang saling bertentangan, yang mendatangkan kesengsaraan bagi manusia. Karena itu, mabda yang muncul dari benak seseorang adalah mabda yang salah, baik dilihat dari segi akidahnya maupun peraturan yang lahir dari akidah tersebut. Atas dasar inilah asas suatu mabda (ideologi) adalah ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia, dan hidup. Sedangkan keberadaan thariqah -yang membuat mabda ini terwujud dan terlaksana dalam kehidupan- adalah suatu keharusan dan kebutuhan dasar bagi ide itu sendiri agar mabda itu terwujud. Ide dasar yang bersifat menyeluruh menjadi asas, karena ide dasar tersebut menjadi akidah bagi mabda. Akidah itu pula yang menjadi qaidah fikriyah (kaedah berpikir) sekaligus sebagai kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah). Dengan landasan ini dapatlah ditentukan arah pemikiran manusia dan pandangan hidupnya. Dengan landasan itu pula dapat dibangun seluruh pemikiran dan dapat dilahirkan seluruh pemecahan problematika kehidupan. Keberadaan thariqah merupakan suatu keharusan, karena peraturan yang lahir dari akidah itu apabila tidak memuat penjelasan-penjelasan; tentang bagaimana cara praktis pemecahannya, bagaimana cara memelihara/melindungi akidah, bagaimana cara mengemban dakwah untuk menyebarluaskan mabda; maka ide dasar ini hanya akan menjadi bentuk filsafat yang bersifat khayalan dan teoritis belaka, yang tercantum dalam lembaran-lembaran buku, tanpa dapat mempengaruhi kehidupan. Jadi, agar dapat menjadi sebuah mabda, di samping harus ada akidah, maka harus ada pula thariqah (metoda pelaksanaannya). Namun demikian, adanya fikrah dan thariqah pada suatu akidah yang memancarkan peraturan, tidak berarti bahwa mabda itu pasti benar. Itu hanya sekadar menunjukkan sebuah mabda. Yang menjadi indikasi benar atau salahnya suatu mabda adalah akidah mabda itu sendiri, apakah benar atau salah. Sebab, kedudukan akidah adalah sebagai qaidah fikriyah, yang menjadi asas bagi setiap pemikiran yang muncul. Akidah jugalah yang menentukan pandangan hidup dan yang melahirkan setiap pemecahan problematika hidup serta pelaksanaannya (thariqah). Jika qaidah fikriyah-nya benar, maka mabda itu benar. Sebaliknya, jika qaidah fikriyah-nya salah, maka mabda itu dengan sendirinya salah dari akarnya. Qaidah fikriyah ini apabila sesuai dengan fitrah manusia dan dibangun berlandaskan akal, maka berarti termasuk kaedah yang benar. Sebaliknya, jika bertentangan dengan fitrah manusia atau tidak dibangun berlandaskan akal, maka kaedah itu bathil. Yang dimaksud dengan qaidah fikriyah itu sesuai dengan fitrah manusia, adalah pengakuannya terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia, berupa kelemahan dan kebutuhan diri manusia pada Yang Maha Pencipta, Pengatur segalanya. Dengan kata lain, qaidah fikriyah itu sesuai dengan naluri beragama (gharizah tadayyun). Sedangkan yang dimaksud dengan qaidah fikriyah itu dibangun berdasarkan akal adalah bahwa kaedah ini tidak berlandaskan materi atau mengambil sikap jalan tengah. Apabila kita telusuri dunia ini, kita hanya menjumpai tiga mabda (ideologi). Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, tidak diemban oleh satu negarapun. Islam diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia. Kapitalisme tegak atas dasar pemisahan agama dengan kehidupan (sekularisme). Ide ini menjadi akidahnya (sebagai asas), sekaligus sebagai qiyadah fikriyah (kepemimpinan ideologis), serta qaidah fikriyah (kaedah berpikir)-nya. Berlandaskan qaidah fikriyah ini, mereka berpendapat bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya. Mereka pertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan berakidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini lahir sistem ekonomi kapitalis, yang termasuk perkara paling menonjol dalam mabda ini atau yang dihasilkan oleh akidah mabda ini. Karena itu, mabda tersebut dinamakan mabda kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam mabda tersebut. Demokrasi yang dianut oleh mabda ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan (undang-undang). Menurut mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya. Rakyat berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, sekaligus menggantinya, termasuk merubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam system demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara, yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat. Sekalipun demokrasi berasal dari ideologi mabda ini, akan tetapi kurang menonjol dibandingkan dengan system ekonominya. Buktinya sistem kapitalisme di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan (pemerintahan) sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut mabda ini. Di samping itu demokrasi bukanlah ciri khas dari mabda ini, sebab komunis juga menyuarakannya dan menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Jadi, lebih tepat bila mabda ini dinamakan mabda kapitalisme. Kelahiran mabda ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama waktu itu dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka timbulah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak. Sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak. Sebab, focus masalahnya adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan. Ide ini dianggap sebagai kompromi (jalan tengah) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka —dengan mengatasnamakan agama— dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi, ide sekularisme sama sekali tidak mengingkari adanya agama, tetapi juga tidak memberikan peran dalam kehidupan. Yang mereka lakukan adalah memisahkannya dari kehidupan. Berdasarkan hal ini, maka akidah yang dianut oleh Barat secara keseluruhan adalah sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Akidah ini merupakan qaidah fikriyah yang menjadi landasan bagi setiap pemikiran. Di atas dasar inilah ditentukan setiap arah pemikiran manusia dan arah pandangan hidupnya. Berdasarkan hal ini pula, dipecahkan berbagai problematika hidup. Lalu ideologi ini dijadikan sebagai qiyadah fikriyah yang diemban dan disebarluaskan oleh dunia Barat ke seluruh dunia. Akidah sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan, pada hakekatnya merupakan pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia, dan hidup, serta mengakui adanya hari Kebangkitan. Sebab, semua itu adalah dasar pokok agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama. Dengan pengakuan ini berarti terdapat ide tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, sebab mereka tidak menolak eksistensi agama. Namun tatkala ditetapkan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya sekadar formalitas belaka. Karena, sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Anggapan ini muncul ketika dinyatakan adanya pemisahan agama dari kehidupan, dan bahwasanya agama hanya sekadar hubungan antara individu dengan Penciptanya saja. Dengan demikian, didalam akidah secular secara tersirat terkandung pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup. Berdasarkan uraian di atas mabda kapitalisme dianggap sebagai sebuah mabda, sebagaimana mabda-mabda yang lainnya. Adapun sosialisme, termasuk juga komunisme, keduanya memandang bahwa alam semesta, manusia, dan hidup adalah materi. Bahwa materi adalah asal dari segala sesuatu. Melalui perkembangan dan evolusi materi benda-benda lainnya menjadi ada. Di balik alam materi tidak ada alam lainnya. Materi bersifat azali (tak berawal dan tak berakhir), qadim (terdahulu) dan tidak seorang pun yang mengadakannya. Dengan kata lain bersifat wajibul wujud (wajib adanya). Penganut ideologi ini mengingkari penciptaan alam ini oleh Zat Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek kerohanian, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya aspek rohani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat pekerjaan. Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi, bahkan menurutnya, berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam otak. Materi adalah pangkal berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini berarti mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu bersifat azali, serta mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Yang mereka akui hanya kehidupan dunia ini saja. Meskipun kedua mabda kapitalisme dan sosialisme ini berbeda pendapat dalam ide dasar tentang manusia, alam, dan hidup, akan tetapi keduanya sepakat bahwa nilai-nilai yang paling tinggi dan terpuji pada manusia adalah nilai-nilai yang ditetapkan oleh manusia itu sendiri. Dan bahwasanya kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah. Menurut pandangan kedua mabda ini, cara itu adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Bahkan, itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Keduanya juga sependapat dalam memberikan kebebasan pribadi bagi manusia, bebas berbuat semaunya menurut apa yang diinginkannya selama ia melihat dalam perbuatannya itu terdapat kebahagiaan. Maka dari itu tingkah laku atau kebebasan pribadi merupakan sesuatu yang diagung-agungkan oleh kedua mabda ini. Pandangan keduanya berbeda tentang individu dan masyarakat. Kapitalisme adalah mabda individualis, yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari individu-individu. Mabda ini tidak memprioritaskan pandangannya terhadap masyarakat secara utuh, namun lebih mengutamakan pandangannya terhadap individu. Di dalam kapitalisme kebebasan individu harus dijamin. Dari sinilah kebebasan berakidah (memilih sekehendaknya agama dan kepercayaan) adalah sebagian dari apa yang mereka agung-agungkan, sama halnya dengan kebebasan ekonomi yang mereka bangga-banggakan. Falsafah mabda ini tidak membatasi kebebasan tersebut. Negara yang membatasi dengan menggunakan kekuatan militer dan ketegasan undang-undangnya. Namun demikian negara hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan. Jadi kedaulatan tetap berada pada individu dan bukan pada negara. Mabda kapitalisme mengusung ide yang dijadikan sebagai dasar untuk memimpin bangsa-bangsa (qiyadah fikriyah), yaitu pemisahan agama dengan kehidupan. Dengan ideologi ini kapitalisme menjalankan roda pemerintahan dan peraturan-peraturannya, mempropagandakan, serta berusaha terus-menerus untuk menerapkannya di setiap tempat. Sosialisme termasuk komunisme adalah mabda yang memandang masyarakat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yang terdiri dari manusia dan interaksinya dengan alam. Hubungan ini bersifat mutlak dan pasti, serta mereka tunduk padanya dengan sendirinya secara mutlak. Kesatuan ini secara keseluruhan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan, yang terdiri dari alam, manusia, dan interaksinya, yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Manusia secara individu merupakan bagian dari alam. Faktor ini menonjol pada diri manusia. Manusia tidak akan berkembang tanpa berhubungan dengan aspek ini, atau tanpa tergantung kepada alam. Hubungannya dengan alam merupakan hubungan antar sesama zat. Masyarakat dianggap sebagai satu kesatuan yang berkembang secara serempak. Masing-masing berputar mengikuti yang lain sebagaimana berputarnya gigi dalam sebuah roda. Konsekwensinya mereka tidak mengenal istilah kebebasan berakidah bagi masing-masing individu dan kebebasan ekonomi. Akidahnya ditentukan berdasarkan kemauan negara, demikian juga halnya dengan ekonomi. Karena itu, negara termasuk salah satu hal yang diagung-agungkan oleh mabda ini. Bertolak dari filsafat materialisme ini lahirlah aturan-aturan kehidupan dan sistem ekonomi. Sistem ekonomi dijadikan sebagai asas yang merupakan manifestasi bagi semua peraturan yang ada. Mabda sosialisme, termasuk komunisme, mengemban ide yang dijadikan sebagai dasar untuk memimpin bangsa-bangsa, yaitu (dialektika) materialisme dan evolusi materialisme. Di atas asas inilah mereka menjalankan roda pemerintahan dan peraturan-peraturannya serta mempropagandakan ideologinya dan berusaha untuk menerapkannya di tempat manapun. Sedangkan Islam menerangkan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan hidup, terdapat Al-Khaliq yang menciptakan segala sesuatu, yaitu Allah SWT. Asas mabda ini adalah keyakinan akan adanya Allah SWT. Akidah ini yang menentukan aspek rohani, yaitu bahwa manusia, hidup, dan alam semesta, diciptakan oleh Al-Khaliq. Dari sini Nampak bahwa hubungan antara alam sebagai makhluk, dengan Allah SWT sebagai Pencipta adalah aspek rohani yang ada pada alam. Tampak pula hubungan antara hidup sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Pencipta, yang menjadi aspek rohani pada hidup. Demikian pula halnya dengan hubungan manusia sebagai makhluk, dengan Allah sebagai Pencipta, merupakan aspek rohani yang ada pada manusia. Dengan demikian, ruh (spirit) adalah kesadaran manusia akan hubungan dirinya dengan Allah SWT. Iman kepada Allah SWT harus disertai dengan iman kepada kenabian Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga bahwasanya Al-Quran itu adalah Kalamullah dan wajib beriman terhadap segala hal yang ada di dalam Al-Quran. Akidah Islam menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib diimani keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula iman terhadap alam sesudah kehidupan dunia, yaitu hari Kiamat. Bahwa manusia di dalam kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan alam setelahnya. Setiap muslim harus mengetahui hubungan dirinya dengan Allah pada saat melakukan suatu perbuatan, sehingga seluruh amal perbuatannya sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Inilah yang dimaksud dengan perpaduan antara materi dengan ruh. Disamping itu, tujuan akhir dari kepatuhannya terhadap perintah-perintah Allah SWT dan larangan-larangan-Nya adalah mendapatkan ridha Allah semata. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai oleh manusia dalam pelaksanaan perbuatan adalah tercapainya nilai (kehidupan), yang dihasilkan oleh amal perbuatannya. Dengan demikian tujuan-tujuan utama untuk menjaga masyarakat bukan ditentukan oleh manusia, akan tetapi berasal dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Aturan ini selalu tetap keadaannya, tidak akan pernah berubah atau berkembang. Karena itu, melestarikan eksistensi manusia, menjaga akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamanan dan negara, adalah tujuan-tujuan utama yang sudah baku, tidak akan pernah berubah atau berkembang. Untuk menjaganya ditetapkan sanksi-sanksi yang tegas. Maka dibuatlah hukum-hukum yang menyangkut hudud (bentuk pelanggaran dan sanksinya ditetapkan Allah SWT) dan uqubat (sanksi pidana) untuk memelihara tujuan-tujuan yang bersifat baku tadi. Pelaksanaan pemeliharaan tujuan-tujuan ini wajib adanya, karena termasuk dalam perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT, bukan karena menghasilkan nilai-nilai materi (mashlahat dan keuntungan bagi masyarakat dan negara, pent.) Demikianlah, hendaknya setiap muslim maupun negara, dalam menjalankan seluruh aktivitasnya menyesuaikan diri dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Negara adalah pihak yang mengatur seluruh urusan rakyat, dan melaksanakan aktifitasnya sesuai dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Inilah yang melahirkan ketenangan bagi setiap muslim. Jadi, kebahagiaan itu bukan sekadar memuaskan kebutuhan jasmani dan mencari kenikmatan, melainkan mendapatkan keridlaan Allah SWT. Akan halnya kebutuhan jasmani dan naluri manusia, Islam telah membuat aturan yang menjamin adanya pemenuhan seluruh kebutuhannya, baik yang menyangkutkebutuhan perut, biologis, rohani, atau kebutuhan lainnya. Namun demikian bukan berarti bahwa pemenuhan sebagian kebutuhan mengeliminir kebutuhan yang lain; atau mengekang sebagian, lalu mengumbar sebagian atau keseluruhannya. Islam menyelaraskannya dan memenuhi seluruh kebutuhan manusia dengan aturan yang amat rinci dan mendetail, yang memungkinkan manusia mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan, serta mencegah terjadinya hal-hal yang dapat menjerumuskannya pada mar tabat hewani — yaitu pelampiasan naluri tanpa kendali. Untuk menjamin pengaturan ini, Islam memandang jamaah (masyarakat) dengan pandangan yang integral, tidakterpecah-pecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari jamaah. Meski demikian posisi seperti ini tidak identik dengan gerigi dalam roda, melainkan bagian dari suatu keseluruhan, sebagaimana tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Islam memperhatikan individu sebagai bagian dari jamaah, bukan individu yang terpisah. Perhatian ini akan melestarikan eksistensi jamaah. Pada waktu yang bersamaan, Islam juga memperhatikan keberadaan jamaah yang menjadi wadah dan terdiri dari bagian-bagian tertentu, yaitu individu-individu yang ada di dalam jamaah. Perhatian ini dapat melestarikan individu-individu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jamaah. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: ‘Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami’. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya”. (HR. Bukhari) Pandangan Islam tentang hubungan antara jamaah dengan individu inilah yang memberikan persepsi yang khas terhadap masyarakat. Sebab individu-individu —yang merupakan bagian dari jamaah— harus memiliki pemikiran-pemikiran yang menghubungkan antar mereka dan menjadikan kehidupannya berlandaskan ide-ide tersebut. Mereka harus memiliki satu perasaan yang akan mempengaruhi tingkah laku mereka dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Mereka harus memiliki pula satu aturan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kehidupan secara keseluruhan. Dari sini masyarakat itu akan terbentuk, yaitu terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Manusia dalam kehidupannya selalu terikat dengan pemikiran, perasaan, dan peraturan ini. Bagi seorang muslim segala sesuatu dalam kehidupannya selalu terikat dengan Islam, sehingga tidak memiliki kebebasan mutlak. Akidah seorang muslim terikat dengan batas-batas Islam dan tidak bebas. Maka murtadnya seorang muslim merupakan tindak pidana besar yang pantas dibunuh apabila tidak segera kembali bertaubat kepada Islam. Dari segi tingkah laku, seorang muslim juga terikat dengan aturan Islam. Berdasarkan hal ini perbuatan zina tergolong tindak pidana, dan terhadap pelakunya berhak diberikan sanksi tanpa ada perasaan belas kasihan. Bahkan hukuman itu diumumkan kepada khalayak, sebagaimana firman Allah SWT: “(Dan) hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang yang beriman” (TQS. An-Nur [24]: 2). Begitu pula halnya dengan minum khamr, termasuk tindakan kriminal, pelakunya pantas mendapatkan hukuman. Penganiayaan terhadap orang lain termasuk tindak pidana yang hukumannya tergantung jenis pelanggaran yang dilakukannya. Misalnya menuduh berbuat zina, membunuh, dan sebagainya. Aspek ekonomi juga terikat dengan syariat Islam dan sebab-sebab pemilikan yang dibolehkan syara’ untuk individu, serta realitas pemilikan yang merupakan izin dari Syari’ (Allah SWT) untuk memperoleh manfaat suatu benda. Penyimpangan dari batasan-batasan ini termasuk dalam tindak pidana yang hukumannya berbeda-beda tergantung jenis penyimpangannya, seperti mencuri, menjambret, dan sebagainya. Karena itu, negara wajib melindungi jamaah dan individu. Negaralah yang menerapkan peraturan di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu harus ada pengaruh mabda (Islam) dalam diri penganutnya, agar pelaksanaan peraturan tersebut dapat terjaga secara normal dari dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, mabda-lah yang mengikat dan melindungi, sedangkan negara adalah pelaksananya. Berdasarkan hal ini, maka kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik negara atau umat, sekalipun kekuasaan berada di tangan umat, yang penampakannya ada di tangan negara. Dari sini, maka satu-satunya thariqah yang ditempuh untuk menerapkan peraturan adalah melalui negara, di samping menjadikan taqwallah pada individu mukmin sebagai sandaran untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Karena itu, diperlukan adanya peraturan yang harus diterapkan oleh negara; begitu pula halnya dengan nasehat dan dorongan agar individu mukmin menerapkan Islam berdasarkan taqwallah. Dengan demikian Islam adalah akidah dan nizham (peraturan); atau dengan kata lain mabda Islam adalah fikrah dan thariqah yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fikrah tersebut. Peraturan Islam lahir dari akidah. Sedangkan peradabannya memiliki model dan ciri yang unik dalam kehidupan. Metode Islam dalam pengembangan dakwah adalah diterapkannya Islam oleh negara dan diemban sebagai qiyadah fikriyah ke seluruh dunia. Metode ini harus dijadikan asas untuk memahami dan menerapkan peraturan Islam. Penerapan Islam oleh jamaah kaum Muslim yang hidup dalam pemerintahan yang menerapkan hukum Islam, adalah termasuk upaya-upaya menyebarluaskan dakwah Islam; karena penerapan peraturan Islam di tengah-tengah masyarakat non muslim tergolong metoda dakwah yang bersifat praktis. Penerapan peraturan Islam telah berhasil memberikan pengaruh gemilang dalam mewujudkan dunia Islam yang wilayahnya sangat luas. Walhasil, mabda (ideologi) yang ada di dunia ini ada tiga, yaitu kapitalisme, sosialisme termasuk komunisme, dan Islam. Masing-masing ideologi ini memiliki akidah yang melahirkan aturan, mempunyai tolok ukur bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan, memiliki pandangan yang unik terhadap masyarakat, dan memiliki metoda tertentu dalam melaksanakan setiap aturannya. Dari segi akidah, ideologi komunis memandang bahwa segala sesuatu berasal dari materi yang berkembang dan mewujudkan benda-benda lainnya berdasarkan evolusi materi. Sedangkan ideologi kapitalisme mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Akibatnya lahirlah ideologi sekular, yang memisahkan agama dengan negara. Para kapitalis tidak ingin membahas apakah di sana terdapat pencipta atau tidak. Mereka –baik yang mengakui eksistensi-Nya maupun yang tidak—hanya memfokuskan bahwa tidak ada hak bagi Pencipta untuk campur tangan dalam kehidupan. Jadi, sama saja kedudukannya bagi mereka yang mengakui keberadaan Pencipta atau yang mengingkari-Nya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Islam memandang bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dialah yang mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa agama-Nya untuk seluruh umat manusia. Dan bahwa kelak manusia akan di-hisab atas segala perbuatannya di hari Kiamat. Karena itu, akidah Islam mencakup Iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari Kiamat, serta qadla-qadar, baik buruknya dari Allah SWT. Dari segi bagaimana lahirnya peraturan dari akidah, ideologi komunis memandang bahwa peraturan diambil dari alat-alat produksi. Pada masyarakat feodal, misalnya, kapak menjadi alat produksi. Dengan penggunaan kapak ini lalu ditetapkan sistem feodalisme. Jika masyarakat berkembang menjadi masyarakat kapitalis, maka alat-alat mesin menjadi sarana produksi. Dengan penggunaan mesin ini terbentuklah sistem kapitalisme. Jadi, peraturan mabda itu diambil dari evolusi materi. Lain halnya dengan ideologi kapitalis, yang memandang bahwa karena manusia telah memisahkan agama dengan kehidupan, maka mau tidak mau harus membuat peraturan sendiri tentang kehidupan. Karenanya, peraturan dalam system kapitalis diambil dari realita kehidupan manusia, dan dibuatlah aturannya sendiri. Sedangkan Islam memandang bahwa Allah SWT telah menentukan bagi manusia aturan hidup untuk dilaksanakan dalam kehidupan. Dia mengutus Muhammad SAW guna membawa aturan-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Manusia harus berjalan sesuai dengan aturan-Nya. Karena itu, jika seseorang menjumpai problematika, maka ia harus menggali (berijtihad guna menemukan) pemecahannya dari Kitab (Al-Quran) dan Sunnah. Ditinjau dari segi tolok ukur perbuatan dalam kehidupan, ideologi komunis memandang bahwa dialektika materialism —yaitu aturan materialisme— merupakan tolok ukur dalam kehidupan manusia. Dengan berkembangnya materi, maka berkembang pula tolok ukurnya. Lain lagi dengan ideology kapitalisme yang memandang bahwa tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah ‘’kemanfaatan’’. Dengan asas inilah perbuatan diukur dan ditegakkan. Berbeda halnya dengan Islam, yang memandang bahwa tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah halal dan haram, yakni perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan. Prinsip ini tidak akan mengalami perkembangan maupun perubahan. Islam hanya menjadikan syara sebagai tolok ukur, bukan manfaat. Dari segi pandangannya terhadap masyarakat, ideologi komunis menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan unsur yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam, dan manusia. Semua itu merupakan satu kesatuan, yaitu materi. Tatkala alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya berkembang, manusia pun turut berkembang, yang akhirnya mendorong perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat tunduk kepada evolusi (perkembangan) materi. Untuk mempercepat proses transformasi manusia harus mewujudkan perkara-perkara yang ber tolak belakang (antithesa). Ketika masyarakat berkembang, individu akan turut berkembang pula. Individu akan bergerak dan selalu terikat dengan gerakan masyarakat, seperti putaran gigi pada sebuah roda. Ideologi kapitalisme menganggap bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Apabila urusan individu ini teratur, maka dengan sendirinya urusan masyarakat akan teratur pula. Titik perhatiannya hanya pada individu-individu saja. Sementara tugas negara adalah bekerja untuk kepentingan individu. Dari sini, ideologi tersebut dinamakan juga individualisme. Sedangkan ideologi Islam menganggap bahwa asas tempat masyarakat berpijak adalah akidah, disamping pemikiran, perasaan, dan peraturan yang lahir dari akidah. Apabila pemikiran dan perasaan Islam ini berkembang luas, dan peraturan Islam diterapkan di tengah-tengah masyarakat, akan terwujud masyarakat Islam. Jadi, masyarakat itu terdiri dari kumpulan manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Islam juga memandang bahwa manusia satu dengan manusia lainnya akan membentuk sebuah jamaah. Tetapi masyarakat tetap tidak akan terbentuk kecuali jika mereka menganut pemikiran, memiliki perasaan, serta diterapkannya peraturan di tengah-tengah mereka. Yang mewujudkan hubungan sesame manusia adalah faktor kemashlahatan. Jika masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemashlahatan; juga perasaan mereka, sehingga rasa ridla dan marahnya menjadi sama; ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan; maka terbentuklah hubungan antar sesama anggota masyarakat. Namun, jika terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap kemashlahatan, berbeda perasaannya, berbeda rasa ridla dan marah (benci)nya, berbeda pula peraturan yang digunakan untuk memecahkan persoalan antar manusia, maka tidak akan terwujud hubungan sesama manusia. Dan masyarakat tidak akan terbentuk. Dengan demikian, masyarakat Islam terbentuk dari manusia, pemikiran, perasaan, dan peraturan. Inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang unik. Maka dapat dipahami, seandainya seluruh manusia itu muslim, sedangkan pemikiran-pemikiran yang dibawanya adalah kapitalisme-demokrasi, perasaan-perasan yang dimilikinya adalah spiritualisme (yang tidak memiliki peraturan) atau nasionalisme; peraturan yang diterapkan adalah kapitalisme-demokrasi, maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak Islami sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam. Dari segi penerapan peraturan, ideologi komunis mengajarkan negara adalah satu-satunya institusi yang berhak menerapkan peraturan melalui kekuatan militer dan undang-undang. Negaralah yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan individu dan kelompok masyarakat. Negara pula yang berhak mengubah peraturan. Sedangkan ideologi kapitalisme memandang bahwa negara adalah pihak yang mengontrol kebebasan. Jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negara akan mencegah tindakan tersebut. Keberadaan negara adalah sarana untuk menjamin adanya kebebasan. Namun, jika seseorang tidak mengganggu kebebasan orang lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, tetapi ia rela, maka hal itu tidak termasuk tindakan melanggar kebebasan. Dalam hal ini negara tidak boleh turut campur. Jadi, terwujudnya negara adalah untuk menjamin kebebasan. Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa peraturan dilaksanakan oleh setiap individu mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya. Sementara teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan adil, yang dapat dirasakan oleh jamaah. Didukung sikap tolong menolong antara umat dengan negara dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar; serta diterapkannya (peraturan) dengan kekuatan negara. Dalam Islam negara bertanggungjawab terhadap urusan jamaah. Negara tidak mengurus kepentingan individu, kecuali bagi mereka yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan Islam tidak mengalami perubahan. Negara, memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hokum menghasilkan beragam pendapat. Dari sisi lain qiyadah fikriyah Islam tidak bertentangan dengan fitrah manusia, walaupun sangat mendalam tetapi gampang dimengerti, cepat membuka akal dan hati manusia, cepat diterima dan mudah dipahami –untuk mendalami isinya, sekalipun kompleks— disertai semangat dan kesungguhan. Beragama adalah satu hal yang fitri dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat mencabut fitrah ini dari manusia, sebab sudah menjadi pembawaannya yang kokoh. Sementara tabi’at manusia merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna dibandingkan dirinya yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan terhadap Pencipta Yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia dan bersifat alami sejak manusia diciptakan. Jadi, beragama merupakan naluri yang bersifat tetap yang selalu mendorong manusia untuk mengagungkan dan mensucikan-Nya. Karena itu, dalam setiap masa, manusia senantiasa cenderung untuk beragama dan menyembah sesuatu. Ada yang menyembah manusia, menyembah bintang-bintang, batu, binatang, api, dan lain sebagainya. Tatkala Islam muncul, akidah yang dibawanya bertujuan untuk mengalihkan umat manusia dari penyembahan terhadap makhluk-makhluk kepada penyembahan terhadap Allah yang menciptakan segala sesuatu. Akan tetapi ketika muncul ideologi (dialektika) materialisme, yang mengingkari adanya Allah dan ruh, ternyata ide ini tidak mampu memusnahkan kecenderungan beragama. Ideologi ini hanya bisa mengalihkan pandangan manusia kepada suatu kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya dan mengalihkan perasaan taqdis kepada kekuatan besar tersebut. Menurut mereka, kekuatan itu berada di dalam ideologi dan diri para pengikutnya. Mereka membatasi taqdis hanya pada kedua unsur tersebut. Ini berarti mereka telah mengembalikan manusia ke masa silam, mengalihkan penyembahan kepada Allah ke penyembahan makhluk-makhluk-Nya; dari pengagungan terhadap ayat-ayat Allah kepada pengkultusan terhadap doktrin-doktrin yang diucapkan makhluk-makhluk -Nya. Semua ini menyebabkan kemunduran manusia ke masa silam. Mereka tidak mampu memusnahkan fitrah beragama, melainkan hanya mengalihkan fitrah manusia secara keliru kepada kesesatan dengan mengembalikannya ke masa silam. Berdasarkan hal ini, qiyadah fikriyah-nya telah gagal ditinjau dari fitrah manusia. Malah dengan berbagai tipu muslihat, mereka mengajak orang-orang untuk menerimanya; dengan mendramatisir kebutuhan perut mereka menarik orang-orang yang lapar, pengecut, dan sengsara. Ideologi ini dianut oleh orang-orang yang bermoral bejat, orang-orang yang gagal dan benci terhadap kehidupan, termasuk orang-orang sinting yang tidak waras cara berpikirnya agar mereka dapat digolongkan ke jajaran kaum intelektual tatkala mereka mendiskusikan dengan angkuh tentang teori dialektika. Padahal kenyataannya, dialektika materialisme paling terlihat kerusakan dan kebathilannya, dan dengan sangat mudah dapat dibuktikan oleh perasaan dan akal. Supaya manusia tunduk pada ideologi ini, maka mereka dipaksa melalui kekuatan fisik. Berbagai tekanan, intimidasi, revolusi, menggoyang, merobohkan, dan mengacaukan merupakan sarana-sarana penting untuk mengembangkan ideology tersebut. Demikian pula qiyadah fikriyah kapitalisme bertentangan dengan fitrah manusia, yaitu naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an; di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Akan tampak perbedaan dan pertentangannya tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya. Karena itu, keberadaan agama harus dapat mengatur seluruh amal perbuatan manusia dalam kehidupan. Menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Namun bukan berarti adanya agama dalam kehidupan menjadikan seluruh amal perbuatan manusia terbatas hanya pada aktivitas ibadah saja. Arti penting agama dalam kehidupan adalah untuk mengatasi berbagai persoalan hidup manusia sesuai dengan peraturan yang Allah perintahkan. Peraturan dan sistem ini lahir dari akidah yang mengakui apa yang terkandung dalam fitrah manusia, yaitu naluri beragama. Menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan yang lahir dari akidah yang tidak sesuai dengan naluri beragama adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, qiyadah fikriyah kapitalisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia. Ia adalah qiyadah fikriyah negatif, yang memisahkan antara agama dengan kehidupan; menjauhkan aktivitas beragama dari kehidupan; menjadikan masalah agama sebagai masalah pribadi (bukan masalah masyarakat); sekaligus menjauhkan peraturan yang Allah perintahkan, yang dapat memecahkan persoalan hidup manusia. Qiyadah fikriyah Islam adalah qiyadah fikriyah yang positif. Karena menjadikan akal sebagai dasar untuk beriman kepada wujud Allah. Qiyadah ini mengarahkan perhatian manusia terhadap alam semesta, manusia, dan hidup, sehingga membuat manusia yakin terhadap adanya Allah yang telah menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Di samping itu qiyadah ini menunjukkan kesempurnaan mutlak yang selalu dicari oleh manusia karena dorongan fitrahnya. Kesempurnaan itu tidak terdapat pada manusia, alam semesta, dan hidup. Qiyadah fikriyah ini memberi petunjuk pada akal agar dapat sampai pada tingkat keyakinan terhadap Al-Khaliq supaya ia mudah menjangkau keberadaan-Nya dan mengimani-Nya. Qiyadah fikriyah komunisme bersandar pada materialism bukan berdasarkan akal, sekalipun dihasilkan oleh akal. Komunisme menyatakan bahwa materi itu ada sebelum adanya pemikiran (pengetahuan). Segala sesuatu berasal dari materi, itulah materialisme. Sedangkan qiyadah fikriyah kapitalisme bersandar pada pemecahan jalan tengah (kompromi) yang dicapai setelah terjadinya pertentangan yang berlangsung hingga berabad-abad antara para pendeta gereja dan cendekiawan Barat, yang kemudian menghasilkan pemisahan agama dari negara. Qiyadah fikriyah komunisme dan kapitalisme telah gagal. Keduanya bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dibangun berdasarkan akal. Berdasarkan keterangan tadi, hanya qiyadah fikriyah Islamlah satu-satunya qiyadah fikriyah yang benar, sedangkan qiyadah fikriyah lainnya adalah rusak. Qiyadah fikriyah Islam dibangun berdasarkan akal, amat berbeda dengan qiyadah fikriyah lainnya yang tidak dibangun berlandaskan akal. Qiyadah fikriyah Islam juga sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia. Sedangkan qiyadah fikriyah lainnya berlawanan dengan fitrah manusia. Bahwa qiyadah fikriyah komunisme dibangun berlandaskan materialisme bukan akal adalah karena ideology ini menyatakan bahwa materi mendahului pemikiran (pengetahuan). Jadi, tatkala materi terefleksi ke dalam otak, maka akan menghasilkan pemikiran; kemudian otak akan memikirkan/memper timbangkan hakekat materi yang direfleksikan ke otak. Sebelum hal itu terjadi, tidak akan muncul pemikiran. Dengan demikian, segala sesuatu dibangun atas materi. Jadi, dasar akidah komunisme adalah materi bukan pemikiran. Pendapat di atas adalah salah ditinjau dari dua segi: Pertama, sebenarnya tidak ada refleksi (pantulan) antara materi dengan otak. Otak tidak melakukan refleksi terhadap materi. Materi juga tidak berefleksi terhadap otak. Untuk merefleksikan sesuatu dibutuhkan reflektor agar bisa memantulkan, seperti halnya cermin yang memiliki kemampuan untuk memantulkan. Kenyataannya, hal semacam itu tidak dijumpai baik pada otak maupun pada realitas materi. Karena itu, sama sekali tidak ada refleksi antara materi dengan otak. Materi tidak dipantulkan oleh otak dan (gambaran tentang) materi tidak berpindah ke otak. Yang beralih ke otak adalah pencerapan materi melalui panca indera. Hal ini bukan refleksi materi dengan otak, dan bukan pula refleksi otak terhadap materi. Yang terjadi adalah pencerapan tentang materi ke otak melalui (perantaraan) panca indera. Tidak ada perbedaan dalam proses tersebut antara mata dengan panca indera yang lainnya. Penginderaan dapat dilakukan dengan proses perabaan, penciuman, rasa, pendengaran sebagaimana halnya penginderaan melalui mata. Dengan demikian yang terjadi atas materi bukan berupa refleksi terhadap otak, melainkan pencerapan dan penginderaan terhadap segala sesuatu. Manusia merasakan segala sesuatu dengan perantaraan panca inderanya, dan segala sesuatu sama sekali bukan direfleksikan ke otak. Kedua, sesungguhnya penginderaan saja tidak cukup menghasilkan suatu pemikiran. Jika hanya sampai di situ, yang terjadi hanyalah penginderaan terhadap fakta. Penginderaan yang diulang-ulang meskipun sampai satu juta kali, tetap saja hanya menghasilkan penginderaan dan tidak menghasilkan pemikiran sama sekali. Diperlukan informasi-informasi terdahulu bagi manusia yang akan menginterpretasikan fakta yang diinderanya itu sehingga menghasilkan suatu pemikiran. Sebagai contoh jika kita sodorkan kepada manusia yang ada sekarang buku berbahasa Asyria, sementara ia tidak memiliki informasi yang berkaitan dengan bahasa Asyria; lalu dibiarkan mencerap tulisan itu baik dengan penglihatan maupun dengan perabaan; diberi kesempatan menginderanya berkali-kali — meskipun sejuta kali— maka ia tetap tidak mungkin mengetahui satu katapun sampai diberikan kepadanya informasi tentang bahasa Asyria dan apa saja yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Pada saat itulah ia dapat berpikir dan mampu memahaminya. Contoh lain adalah anak kecil yang sudah mampu mengindera, tetapi belum memiliki informasi (pengetahuan). Kepadanya disodorkan sepotong emas, tembaga, dan batu. Lalu dibiarkan inderanya mencerap ketiga benda tersebut; maka ia tidak akan mampu memahaminya sekalipun diulang berkali-kali dengan menggunakan berbagai jenis panca inderanya. Namun jika diberikan kepadanya informasi tentang ketiga benda tersebut kemudian ia menginderanya; maka dengan menggunakan informasi sebelumnya ia mampu memahami hakekat ketiga benda tadi. Anak kecil ini walaupun telah dewasa hingga berusia 20 tahun sedangkan ia belum mendapatkan satu informasipun, maka keadaannya tetap seperti semula, hanya mampu mengindera sesuatu tetapi tidak mampu memahaminya sekalipun otaknya berkembang. Yang menjadikannya memahami suatu fakta yang diinderanya bukanlah otak, melainkan informasi-informasi yang diperoleh sebelumnya yang diterima oleh otaknya. Itu dilihat dari segi pemahaman akal. Adapun dari segi pemahaman identifikasi yang berupa perasaan, maka hal ini muncul dari naluri dan kebutuhan jasmani manusia. Apa yang terjadi pada hewan, terjadi pula pada manusia. Jika disodorkan secara berulang-ulang buah apel dan batu, ia akan mengerti bahwa apel dapat dimakan, sedangkan batu tidak. Begitu pula halnya dengan keledai ia akan mampu mengidentifikasi bahwa gandum dapat dimakan sedangkan tanah tidak. Meskipun demikian proses identifikasi tidak tergolong pemikiran/pemahaman, tetapi muncul dari (dorongan) naluri dan kebutuhan jasmani. Pada hewan ada dan pada manusia juga ada. Karena itu, tidak mungkin pemikiran itu ada kecuali terdapat informasi (pengetahuan) yang diperoleh sebelumnya, di samping pencerapan terhadap fakta melalui panca indera ke otak. Berdasarkan hal ini, maka akal, fikr (pemikiran), dan idrak (pemahaman), terjadi dengan pencerapan terhadap fakta melalui panca indera ke otak, disertai dengan pengetahuan (informasi) yang diperoleh sebelumnya, yang dapat menjelaskan (hakekat) kenyataan tersebut. Dengan demikian qiyadah fikriyah komunis jelas-jelas keliru dan rusak, karena tidak dibangun berdasarkan akal. Sama rusaknya dengan pengertian mereka tentang pemikiran dan akal. Demikian pula halnya dengan qiyadah fikriyah kapitalisme yang dibangun berdasarkan jalan tengah (kompromi) antara tokoh-tokoh gereja dengan cendekiawan, setelah sebelumnya terjadi pergolakan dan perbedaan pendapat yang sengit dan berlangsung terus-menerus selama beberapa abad. Jalan tengah itu adalah pemisahan agama dari kehidupan, yaitu mengakui keberadaan agama secara tidak langsung, tetapi dipisahkan dari kehidupan. Jadi, qiyadah fikriyah ini tidak dibangun berlandaskan akal, tetapi dibangun atas dasar persetujuan kedua belah pihak sebagai jalan tengah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran jalan tengah merupakan hal yang mendasar bagi mereka. Mereka mencampuradukkan antara haq dan bathil, antara keimanan dengan kekufuran, cahaya dengan kegelapan; dengan menempuh jalan tengah. Padahal jalan tengah itu tidak ada faktanya. Persoalannya adalah tinggal memilih tindakan yang jelas. Apakah yang haq atau yang bathil, iman ataukah kufur, cahaya ataukah kegelapan. Tetapi jalan tengah (kompromi) yang di atasnya terdapat bangunan akidah dan qiyadah fikriyah mereka, telah menjauhkannya dari kebenaran, keimanan, dan cahaya. Karena itu, qiyadah fikriyah kapitalisme rusak, karena tidak dibangun berlandaskan akal. Qiyadah fikriyah Islam dibangun berlandaskan akal yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad SAW, ke-mukjizatan Al-Quran Al-Karim dengan menggunakan akalnya. Juga mewajibkan beriman kepada yang ghaib (yang argumennya) berasal dari sesuatu yang dapat dibuktikan keberadaannya dengan akal seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir. Dengan demikian, qiyadah fikriyah ini dibangun berlandaskan akal. Hal ini dilihat dari segi akal. Adapun dari segi fitrah (manusia), maka qiyadah fikriyah Islam sesuai dengan fitrah; sebab ia mempercayai adanya agama dan adanya kewajiban merealisir agama dalam kehidupan ini, serta menjalankan kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Beragama itu sesuai dengan fitrah. Dan salah satu penampakan naluri ini adalah taqdis (mengkultuskan sesuatu). Taqdis berlawanan dengan reaksi naluri-naluri lainnya. Penampakkan itu merupakan hal yang wajar bagi naluri (beragama). Jadi, beriman kepada agama dan wajib menyesuaikan amal perbuatan manusia di dalam kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah, merupakan sesuatu yang naluriah. Karena ia sesuai dengan fitrah manusia, maka mudah diterima oleh manusia. Berbeda halnya dengan qiyadah fikriyah komunisme dan kapitalisme. Kedua ideologi ini bertentangan dengan fitrah manusia. Qiyadah fikriyah komunisme mengingkari adanya agama secara mutlak bahkan menentang pengakuan akan adanya agama. Ia bertentangan dengan fitrah manusia. Sedangkan qiyadah fikriyah kapitalisme, tidak mengakui peranan agama, namun tidak pula mengingkarinya. Malahan tidak menjadikan pengakuan atau pengingkaran terhadap agama sebagai sesuatu yang penting. Qiyadah fikriyah ini hanya mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Perjalanan hidup (manusia) berlandaskan manfaat belaka, yang hal itu tidak ada hubungannya dengan agama. Dari sini jelas bahwa qiyadah fikriyah kapitalisme bertentangan dengan fitrah manusia. Berdasarkan hal ini hanya qiyadah fikriyah Islam yang layak bagi manusia karena kesesuaiannya dengan fitrah dan akal manusia. Selain qiyadah fikriyah Islam, adalah bathil . Hanya qiyadah fikriyah Islam saja yang benar, dan satu-satunya yang akan berhasil (dalam mengatur kehidupan manusia). Tinggal satu masalah lagi, yaitu apakah kaum Muslim pernah menerapkan sistem Islam? Ataukah mereka hanya memeluk akidah Islam sementara mereka menerapkan peraturan dan hukum-hukum lain? Jawabnya adalah bahwa umat Islam, sepanjang sejarahnya hanya menerapkan system Islam, sejak Rasulullah SAW berada di Madinah sampai tahun 1336 H (1918 M), yaitu tatkala jatuhnya Daulah Islam yang terakhir ke tangan penjajah. Saat itu penerapan sistem Islam mencakup seluruh aspek kehidupan, bahkan negara berhasil menerapkannya dengan sangat gemilang. Yang menunjukkan bahwa kaum Muslim telah menerapkan sistem Islam secara nyata karena sesungguhnya yang menerapkan sistem (peraturan) secara praktis adalah negara. Ada dua institusi negara yang menerapkan sistem Islam. Pertama, Al-Qadli, yaitu hakim yang mengadili berbagai macam perselisihan ditengah-tengah masyarakat. Kedua, Al-Hakim, yaitu penguasa yang memimpin rakyat. Mengenai Qadli, telah sampai kepada kita melalui riwayat yang mutawatir (pasti kebenarannya) bahwa para Qadli telah bertindak menyelesaikan berbagai macam perselisihan ditengah-tengah masyarakat sejak masa Rasulullah SAW hingga berakhirnya kekhilafahan di Istambul. Mereka menyelesaikannya berdasarkan hukum-hukum syara’ yang agung dalam seluruh aspek kehidupan, baik di antara kaum Muslim sendiri maupun antara kaum Muslim dengan non muslim. Sedangkan pengadilan yang menyelesaikan seluruh persengketaan, baik yang berkenaan dengan hak-hak umum, perkara pidana, perkara perdata, dan lain-lain, berbentuk pengadilan tunggal yang hanya menerapkan syari’at Islam. Tidak ada seorang sejarawan pun memberitakan bahwa satu perkara pernah dipecahkan dengan selain hokum Islam; atau, satu mahkamah di suatu negeri Islam pernah memberlakukan hukum selain hukum Islam. Hal ini berlangsung sebelum pengadilan dipisahkan menjadi pengadilan agama dan pengadilan sipil, sebagai akibat pengaruh penjajahan. Bukti autentik mengenai kondisi tersebut dapat dilihat melalui berbagai dokumen mahkamah syari’at yang tersimpan di beberapa kota tua seperti Al-Quds (Yerusalem), Baghdad, Damaskus, Mesir, Istambul, dan lain-lain. Ini adalah bukti meyakinkan bahwa hanya syari’at Islam sajalah yang diterapkan oleh para Qadli. Sampai-sampai –saat itu- orang-orang non muslim dari kalangan Nashrani dan Yahudi mempelajari fiqih Islam dan mengarang dalam bidang ini, seperti Salim Al-Baz yang mensyarah majalah (Al-Ahkam Al-Adliyah, yaitu perundang-undangan yang berlaku pada masa khilafah Utsmaniyah-pent) dan lain-lain, yang mengarang berbagai buku dalam fiqih Islam di masa-masa terakhir ini. Adapun masuknya undang-undang Barat, disebabkan adanya fatwa ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Di antara hukum-kukum tersebut antara lain Qanun al Jazaa al Utsmani (UU pidana pemerintahan Utsmaniah) tahun 1275 H (1857 M), Qanun al Huquuq wat Tijaarah (UU keuangan dan perdagangan) tahun 1276 H (1858 M). Kemudian pada tahun 1288 H (1870 M) mahkamah pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu mahkamah Syari’ah (pengadilan agama) dan mahkamah Nizhamiyah (pengadilan sipil) yang kemudian dibuat undang- undangnya. Pada tahun 1295 H (1877 M) dibuat peraturan tentang pembentukan mahkamah Sipil (badan dan strukturnya). Terakhir pada tahun 1296 H dibuat undang-undang mengenai tata cara pengadilan yang menyangkut hak-hak (keuangan) dan hukum pidana. Pada saat itu para ulama tidak mendapatkan satu dasar hukum syara’ untuk memasukkan undang-undang sipil Barat ke negara Islam. Saat itu pula diterbitkan Al Majalah, sebagai undang undang mu’amalah, sehingga undang-undang sipil Barat dapat dihindari. Ini terjadi pada tahun 1286 H. Undang-undang (Barat) yang dibuat sedemikian rupa seolah-olah hukum-hukum itu diperbolehkan dalam Islam, dapat masuk setelah negara memperoleh fatwa yang memperbolehkannya, dan setelah diizinkan oleh Syaikhul Islam untuk diberlakukan. Hal ini ditunjukkan dalam surat-surat resmi yang telah dikeluarkan. Meskipun penjajah sejak tahun 1918 M, atau sejak pendudukan terhadap negeri-negeri Islam mulai mengambil alih penyelesaian persengketaan yang menyangkut hak-hak dan hukum pidana berlandaskan selain hukum-hukum Syari’at Islam. Akan tetapi bagi negeri-negeri yang tidak dijajah secara militer -walaupun tetap mereka kontrol-, ternyata negeri-negeri tersebut masih tetap menjalankan hukum Islam. Seperti negeri-negeri Hejaz, Nejd, Yaman, dan negeri Afghanistan. Sekalipun para penguasa di negeri-negeri ini tidak melaksanakan hukum Islam, tetapi kita melihat bahwa Islam masih diterapkan dalam pengadilan. Daulah Islam sepanjang sejarahnya tidak pernah menerapkan selain Islam. Penerapan sistem Islam oleh penguasa dimanifestasikan dalam lima bidang, yaitu hukum-huklum syara’ yang berkaitan dengan masalah (1) Sosial (yang mengatur interaksi pria dan wanita), (2) Ekonomi, (3) Pendidikan, (4) Politik luar negeri, dan (5) Pemerintahan. Hukum-hukum yang menyangkut kelima bagian ini telah diterapkan oleh Daulah Islam sejak dulu. Sistem sosial yang mengatur hubungan antara pria dan wanita, dan apa yang dihasilkan dari hubungan tersebut, yaitu yang dinamakan hukum perdata tentang keluarga, masih tetap berlaku hingga kini, sekalipun penjajahan masih merajalela dan hukum-hukum kufur masih terus diterapkan. Sampai saat ini tidak pernah diterapkan selain syari’at Islam dalam bidang hukum keluarga. Adapun sistem ekonomi, penerapannya mencakup dua segi. Per tama, bagaimana Negara mengumpulkan harta dari rakyat untuk mengatasi persoalan masyarakat. Kedua, bagaimana mekanisme distribusinya. Untuk persoalan pertama, negara mengambil kewajiban zakat atas harta yang dimiliki baik berupa uang, tanah, hasil pertanian, atau ternak, dengan menganggapnya sebagai ibadah. Harta tersebut dibagikan hanya kepada delapan ashnaf yang tercantum dalam Al-Quran, dan tidak digunakan untuk urusan administrasi negara. Sementara untuk urusan administrasi dan pelayanan bagi umat, negara mengambil har ta hanya berdasarkan syari’at Islam saja. Mengambil kharaj (atas tanah), jizyah (dari rakyat non muslim), cukai perbatasan yang dipungut karena negara bertanggung jawab mengatur perdagangan luar dan dalam negeri. Pendek kata perolehan harta tidak pernah dilakukan kecuali sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sedangkan distribusi harta, negara mengeluarkannya sesuai dengan hukum-hukum yang menyangkut pengeluaran (negara) , diberikan bagi pihak yang lemah (tidak mampu) dan larangan pengelolaan harta bagi orang-orang terbelakang mental dan berperilaku mubazir, lalu negara mengangkat orang yang bisa mengaturnya. Banyak tempat-tempat (rumah makan) yang didirikan di setiap kota ata pada rute perjalanan (yang dilalui) jamaah haji untuk memberi makan fakir, miskin, dan ibnu sabil. Bekas-bekas (peninggalan)nya masih bisa dijumpai sampai sekarang di beberapa ibukota negeri Islam. Ringkasnya, distribusi harta dari negara dilakukan berdasarkan syari’at Islam dan bukan yang lain. Apabila kita menyaksikan (dalam sejarah) adanya kelalaian negara dalam mendistribusikan harta, maka hal itu semata-mata ‘kurang perhatian’ dan kekeliruan dalam penerapan. Jadi, bukan berarti hukum-hukum yang menyangkut hal ini tidak pernah diterapkan sama sekali. Dalam bidang pendidikan, strategi pendidikan yang digunakan selalu dibangun berlandaskan Islam. Tsaqofah Islam merupakan asas bagi kur ikulum pendidikan. Sedangkan tsaqofah asing senant iasa diawasi . Jika bertentangan dengan Islam tidak diambil. Kalaupun ada kelalaian negara dalam membuka sekolah-sekolah, hal itu hanya terjadi pada masa-masa terakhir Daulah Utsmaniyah, dan mencakup seluruh negeri-negeri Islam, akibat kemerosotan berpikir yang mencapai klimaksnya saat itu. Sedangkan pada masa-masa sebelum itu, sudah sangat terkenal di seluruh dunia, bahwa negeri-negeri Islamlah satu-satunya yang menjadi pusat perhatian para cendekiawan dan kaum terpelajar. Perguruan-perguruan tinggi seperti yang terdapat di Cordova, Baghdad, Damaskus, Iskandariah dan Kairo, memiliki pengaruh yang amat besar dalam menentukan arah pendidikan di dunia. Begitu pula halnya dengan politik luar negeri, selalu dibangun berlandaskan Islam. Negara Islam telah menentukan hubungannya dengan negara-negara lain hanya berdasarkan Islam. Seluruh negara di dunia saat itu melihatnya sebagai sebuah Negara Islam. Seluruh hubungan luar negeri Daulah Islam dibangun atas dasar Islam dan kemashlahatan kaum Muslim. Kenyataan bahwa politik luar negeri Negara Islam selalu berlandaskan politik Islam adalah perkara yang sangat terkenal di seluruh dunia tanpa perlu pembuktian lagi. Mengenai sistem pemerintahan, jelas sekali bahwa struktur negara di dalam Islam terdiri dari delapan bagian, yaitu: (1) Khalifah, sebagai kepala negara, (2) Mu’awin Tafwidl, -sebagai pembantu Khalifah yang berkuasa penuh-. (3) Mu’awin Tanfidz, -sebagai pembantu Khalifah dalam urusan administrasi-. (4) Amirul Jihad. (5) Wali (gubernur). (6) Qadla (pengadilan). (7) Aparat Administrasi Negara. (8) Majlis Umat. Pada masa lalu struktur seperti ini selalu ada. Kaum Muslim belum pernah melewati sejarahnya, kecuali hadir di tengah-tengah mereka seorang Khalifah. Pengecualiannya tentu saja setelah para penjajah kafir merubuhkan sistem Khilafah melalui tangan Mustafa Kamal Ataturk pada tahun 1342 H (1924 M). Sebelum itu, kaum Muslim selalu dipimpin oleh seorang Khalifah. Belum pernah terjadi kekosongan seorang Khalifah tanpa disertai adanya Khalifah lain sebagai penggantinya, bahkan pada masa-masa kemundurannya. Apabila seorang Khalifah diangkat, maka saat itu terbentuk Daulah Islam. Sebab, Daulah Islam itu adalah Khalifah. Mengenai Mu’awin Tafwidl dan Mu’awin Tanfidz, mereka selalu ada di seluruh masa. Kedudukan mereka sebagai pembantu dan pelaksana, bukan sebagai Wuzaraa (kementrian). Kalaupun ada sebutan Wazir, yang terjadi pada masa Abbasiah, tetapi fungsinya sebagai pembantu. Sama sekali tidak terdapat ciri-ciri kementerian seperti yang ada dalam sistem demokrasi. Kedudukan mereka hanya sebagai pembantu Khalifah dalam urusan pemerintahan dan administrasi negara, sedangkan wewenang kekuasaan secara keseluruhan berada di tangan Khalifah. Adapun para Wali, Qadli, dan Aparat Administrasi Negara, jelas sekali bahwa eksistensi mereka selalu ada. Bahkan tatkala para penjajah kafir menduduki negeri-negeri Islam, urusan pemerintahan masih berlangsung dan dijalankan oleh para Wali, Qadli dan aparat administrasi negara, sehingga keberadaan mereka tidak perlu pembuktian lagi. Akan halnya Amirul Jihad memiliki wewenang mengurus angkatan bersenjata, sebagai pasukan Islam. Pada saat itu berkembang opini umum di seluruh dunia bahwa pasukan Islam adalah pasukan yang tidak terkalahkan. Tentang Majlis Umat, aktivitasnya sepeninggal masa Khulafaur Rasyidin tidak lagi tampak. Karena sekalipun termasuk salah satu struktur pemerintahan, tetapi bukan termasuk bagian dari pilar pemerintahan. Syura merupakan salah satu hak rakyat terhadap para penguasa. Apabila penguasa tidak meminta pendapat dari rakyat (dalam berbagai urusan), berarti penguasa itu telah melakukan suatu kelalaian. Meskipun demikian pemerintahan itu tetap merupakan pemerintahan Islam. Sebab, syura adalah media pengambilan pendapat, bukan untuk menetapkan kebijakan negara. Hal ini berbeda dengan peranan parlemen pada sistem demokrasi. Parlemen merupakan manifestasi dari kedaulatan di tangan rakyat. Dan ini menjadi pilar dasar sistem pemerintahan ideologi Kapitalisme. Lain halnya dengan Islam yang meletakkan kedaulatan itu hanya pada syara’. Dari sini tampak jelas bahwa sistem pemerintahan Islam telah diterapkan di sepanjang sejarahnya. Satu hal yang perlu dicatat mengenai pembai’atan Khalifah. Yang pasti dalam sistem khilafah tidak pernah ada sistem ‘’putera mahkota’’. Pewarisan kekuasaan tidak pernah dilakukan sebagai hukum yang ditetapkan di dalam negara —yakni untuk mengangkat kepala negara— secara otomatis, seperti yang berlaku pada sistem Kerajaan. Yang ditetapkan menjadi hukum untuk melegalisasi kekuasaan di dalam Daulah Islam adalah bai’at. Pada masa-masa tertentu pelaksanaan bai’at diambil dari umat secara langsung, pada masa yang lain melalui ahlul halli wal ‘aqdi. Bahkan pernah juga diambil dari satu orang saja yaitu Syaikhul Islam pada masa kemunduran umat. Meskipun demikian sepanjang sejarah Daulah Islam, seorang Khalifah selalu diangkat melalui bai’at. Khalifah tidak pernah diangkat dengan cara pewarisan tahta (sistem putera mahkota) tanpa adanya bai’at sama sekali. Tidak ada satupun riwayat atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Khalifah pernah diangkat dengan cara pewarisan kekuasaan tanpa melalui bai’at. Memang pernah dijumpai pengambilan bai’at yang keliru. Ada sebagian Khalifah yang mengambil bai’at dari rakyat pada saat ia masih hidup untuk anaknya, atau saudaranya, keponakannya, atau salah seorang anggota keluarganya. Setelah itu bai’at diulangi lagi untuk orang yang ditunjuk setelah Khalifah meninggal. Pelaksanaan seperti ini menunjukkan adanya penyalahgunaan dalam penerapan bai’at; dan bukan menunjukkan pengakuan adanya sistem pewarisan tahta atau putera mahkota. Sama halnya dengan penyalahgunaan yang terjadi pada tata cara ‘’pemilu’’ untuk memilih anggota parlemen dalam sistem demokrasi, yang prosesnya tetap disebut sebagai pemilu dan bukan sebagai penunjukan, sekalipun yang menang dalam pemilu adalah orang-orang yang dikehendaki oleh pemerintah. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa system Islam benar-benar diterapkan secara praktis. Tidak pernah satu kalipun dalam sejarah Daulah Islam diterapkan sistem selain sistem Islam. Keberhasilan qiyadah fikriyah Islam secara nyata, adalah bentuk keberhasilan yang tiada bandingannya, terutama dalam dua hal berikut ini: Pertama, bahwa qiyadah fikriyah Islam berhasil mengubah bangsa Arab secara keseluruhan dari taraf pemikiran yang sangat rendah, dan dari kegelapan yang selalu diliputi oleh fanatisme kesukuan dan alam kebodohan yang sangat, menjadi era kebangkitan berpikir yang cemerlang, gemerlap dengan cahaya Islam, yang bahkan tidak hanya untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh dunia. Umat Islam telah memainkan peranan penting dalam membawa Islam ke seluruh pelosok dunia, sehingga mampu menguasai Persia, Iraq, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Pada waktu itu masing-masing bangsa memiliki ras, etnik, dan suku-suku yang saling berlainan dengan bangsa-bangsa lainnya. Juga dalam hal bahasa. Bangsa Persia, misalnya, berbeda dengan bangsa Romawi di Syam, berbeda pula dengan bangsa Qibthi di Mesir, berlainan pula dengan bangsa Barbar (orang-orang Moor) yang ada di Afrika Utara. Demikian pula halnya dengan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan agamanya, masing-masing saling berlainan. Namun tatkala mereka hidup di bawah naungan pemerintahan Islam, kemudian memahami Islam, pada akhirnya mereka berduyun-duyun masuk Islam secara keseluruhan. Jadilah mereka sebagai umat yang satu, yaitu umat Islam. Karena itu, keberhasilan qiyadah fikriyah Islam dalam mempersatukan bangsa-bangsa dan suku-suku yang ada, merupakan keberhasilan cemerlang dan tiada duanya. Padahal waktu itu sarana transportasi dalam aktivitas penyebarlusan dakwah hanya menggunakan unta, sedangkan media penyebarannya melalui lisan dan pena. Akan halnya Futuhat, -yaitu pembebasan terhadap negeri-negeri lain-,hal itu dilakukan untuk menyingkirkan kekuatan dengan kekuatan, mendobrak penghalang yang bersifat fisik sehingga manusia terbebas dari berbagai tekanan agar mudah dibimbing oleh akalnya, dan ditunjuki fitrahnya. Sehingga mereka akhirnya memeluk agama Allah berbondong-bondong. Ini sangat berbeda dengan model penaklukan keji, yang selalu menjauhkan negara/bangsa penakluk dengan negara/bangsa yang ditaklukkan, menjauhkan pihak yang menang dengan pihak yang kalah. Bukti konkrit dalam hal ini adalah penjajahan Barat terhadap negeri-negeri Timur selama puluhan tahun, walaupun pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Kalau tidak karena pengaruh tsaqofah mereka yang menyesatkan itu yang (insya-Allah) akan dimusnahkan, plus tekanan dari para penguasa bayaran -yang juga pasti akan dilenyapkan-tentulah kembalinya negeri-negeri tersebut ke pangkuan Islam, baik dilihat dari segi prinsip maupun peraturan- peraturannya, adalah perkara yang mudah dicapai secepat kedipan mata. Kembali kepada masalah yang tadi. Bahwa keberhasilan qiyadah fikriyah Islam dalam mempersatukan bangsa-bangsa di dunia adalah keberhasilan yang tiada bandingannya. Terbukti bangsa-bangsa tersebut hingga kini masih tetap mempertahankan ke-Islamannya sekalipun terdapat ancaman, kejahatan, serta tipu daya kolonialisme dalam menghancurkan akidah umat dan meracuni pikiran mereka. Bangsa-bangsa tersebut tetap akan mempertahankan kedudukannya sebagai umat Islam sampai hari Kiamat nanti. Tidak pernah sekali pun terjadi, bangsa yang telah memeluk Islam kemudian keluar (murtad) dari Islam. Mengenai keadaan kaum Muslim di Andalusia, sesungguhnya mereka telah dimusnahkan melalui mahkamah-mahkamah inquisisi dengan cara dibakar, dieksekusi dengan hukuman penggal leher. Begitu pula kaum Muslim di daerah Bukhara, Kaukasus dan Turkistan telah ditimpa cobaan besar seperti yang dialami oleh umat-umat terdahulu. Masuknya bangsa-bangsa tersebut ke dalam Islam, kelestariannya sebagai umat yang satu, dan kerasnya mereka dalam mempertahankan akidah, menggambarkan sejauh mana keberhasilan qiyadah fikriyah ini, dan betapa berhasilnya Daulah Islam dalam menerapkan sistem Islam. Kedua, hal lain yang menunjukkan keberhasilan qiyadah fikriyah Islam adalah bahwa umat Islam telah menjadi umat yang terkemuka di dunia dalam bidang hadlarah (peradaban), madaniyah (kemajuan sains dan teknologi), tsaqofah dan ilmu pengetahuan. Daulah Islam telah menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia selama 12 abad, yaitu dari abad ke-7 sampai per tengahan abad ke-18 M. Daulah Islam merupakan kebanggaan dunia, seperti matahari yang memancarkan sinarnya sebagai penerang bagi umat lain di sepanjang kurun tersebut. Fakta ini adalah bukti lain yang memperkuat argument sejauh mana keberhasilan qiyadah fikriyah Islam dan betapa berhasilnya Islam menerapkan undang-undang dan akidahnya atas umat manusia. Namun tatkala Daulah dan umat Islam melepaskan tugas mengemban qiyadah fikriyah Islam, ketika mereka tidak lagi mementingkan dakwah Islam, melalaikan kewajibannya memahami dan menerapkan Islam, maka pada saat itulah Daulah dan umat ini sirna di antara umat-umat lain. Berdasarkan hal ini kami berani mengatakan bahwa qiyadah fikriyah Islamlah satu-satunya qiyadah yang benar dan satu-satunya yang wajib diemban ke seluruh dunia. Apabila Daulah Islam yang mengemban qiyadah fikriyah ini muncul dan memainkan peranannya kembali, maka keberhasilan qiyadah fikriyah saat ini akan seperti keberhasilannya pada masa yang lalu. Kami telah mengatakan bahwa Islam sesuai dengan fitrah manusia dalam berbagai sistem dan peraturan yang terpancar dari Islam. Dalam hal ini, manusia tidak dianggap sebagai mesin robot yang bergerak sesuai dengan program, dan menjalankan peraturan tanpa ada perbedaan satu sama lain dalam hal tingkah laku, sesuai dengan ukuran dan data-data yang telah diprogram. Islam menganggap manusia sebagai makhluk sosial yang menerapkan peraturan dan mempunyai tingkat karakter dan kemampuan yang berbeda-beda. Karena itu, wajar kalau Islam di satu sisi berusaha untuk saling mendekatkan martabat manusia dan tidak menyamaratakan, dengan menjamin ketenteraman bagi semua pihak. Pada sisi lain, -dan ini pokok pembahasan sekarang-, bahwa dengan anggapan seperti ini ada saja individu-individu yang melanggar peraturan, menyimpang dari Islam. Sesuatu yang wajar jika dijumpai individu-individu yang tidak mentaati peraturan atau lalai, sehingga dalam masyarakat Islam juga dijumpai orang-orang fasik (berbuat maksiat), fajir (berbuat keji), ada pula orang-orang kafir dan munafik, orang-orang murtad bahkan atheis. Akan tetapi patokan sebuah masyarakat adalah masyarakat secara keseluruhan, yang memiliki pemikiran, perasaan, peraturan dan komunitas masyarakat. Sebuah masyarakat itu dianggap sebagai masyarakat Islam yang menerapkan sistem Islam, apabila unsur-unsur di atas tadi diwarnai oleh Islam. Sebagai bukti kebenaran hal ini, adalah tidak mungkin seorang pun menerapkan suatu peraturan seperti apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW dalam menerapkan peraturan Islam. Sekalipun demikian, pada masa Rasulullah SAW terdapat orang-orang kafir, munafik, fasik, fajir, murtad, bahkan atheis. Akan tetapi, tak seorang pun berpendapat lain kecuali mengatakan secara pasti: ‘’Sesungguhnya Islam pada waktu itu telah diterapkan dengan sempurna dan masyarakat yang ada adalah masyarakat Islam’’. Penerapan ini dilakukan terhadap manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, bukan sebagai robot. Dengan demikian hanya Islam satu-satunya yang telah diterapkan terhadap umatnya secara total -baik bangsa Arab maupun non Arab-, sejak Nabi SAW menetap di Madinah sampai masa penjajahan yang menduduki negeri-negeri Islam. Kemudian sistem Islam diganti dengan sistem kapitalis. Berdasarkan hal ini terbukti bahwa Islam telah diterapkan secara praktis sejak tahun pertama Hijriyah hingga tahun 1336 H (1918 M). Sepanjang masa itu, umat Islam tidak pernah menerapkan peraturan apa pun selain Islam. Bahkan tatkala kaum Muslim telah menerjemahkan berbagai jenis filsafat, ilmu pengetahuan dan tsaqofah asing yang beraneka ragam ke dalam bahasa Arab. Mereka sama sekali tidak menerjemahkan hukum, undang-undang maupun peraturan dari suatu bangsa mana pun—baik untuk dipraktekkan atau pun untuk dipelajari. Dalam kedudukannya sebagai suatu peraturan, Islam kadang-kadang diterapkan sempurna oleh kaum Muslim, kadang-kadang cacat, tergantung pada kuat lemahnya negara Islam, dalam dangkalnya pemahaman tentang Islam, juga gesit dan lambannya dalam mengembangkan qiyadah fikriyah Islam. Buruknya penerapan Islam di sebagian masa mengakibatkan masyarakat Islam mengalami kemunduran demi kemunduran. Ini sesuatu yang wajar terjadi pada sistem mana pun. Sebab, penerapan itu tergantung pada manusianya. Namun demikian, buruknya penerapan Islam bukan berarti sistem Islam tidak pernah diterapkan. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa sistem Islam pernah diterapkan. Dan tidak pernah diterapkan ideology maupun sistem peraturan selain Islam. Yang menjadi patokan dalam penerapan adalah undang-undang dan peraturan yang dijalankan oleh negara. Kenyataannya Daulah Islam tidak pernah mengambil peraturan maupun undang-undang apapun, selain Islam. Memang dijumpai buruknya penerapan sebagian peraturan Islam yang dilakukan sebagian penguasa. Satu hal yang harus dipahami dengan jelas ketika kita hendak memproyeksikan penerapan Islam dalam sejarah, harus memperhatikan dua hal berikut ini: Pertama, hendaknya kita tidak mengambil sejarah dari musuh-musuh Islam, terutama mereka yang sangat membenci Islam. Kita hanya mengambilnya dari kalangan kaum Muslim setelah diseleksi secara kritis dan teliti, sehingga kita tidak sampai memperoleh gambaran yang buruk. Kedua, kita tidak boleh menggeneralisir masyarakat dari sejarah perorangan, atau menitikberatkan sejarah hanya pada satu sisi dari sebuah masyarakat. Adalah keliru apabila kita menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayyah dengan hanya memfokuskan sejarah Yazid, misalnya. Atau, menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas dengan hanya mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para Khalifah-nya. Demikian pula kita tidak boleh mencap masyarakat pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan hanya membaca kitab Al Aghani yang dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair dan sastrawan; atau dengan membaca buku-buku tashawwuf dan buku-buku sejenisnya. Sehingga kita menyimpulkan bahwa masa itu adalah masa kefasikan dan kenistaan, atau masa zuhud dan uzlah. Hendaknya kita meneliti keadaan masyarakat secara menyeluruh. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sejarah masyarakat Islam tidak pernah ditulis dalam periode manapun. Yang ada hanyalah cerita-cerita tentang para penguasa dan sebagian para pejabatnya. Kebanyakan ditulis oleh orang-orang yang tidak layak dipercaya. Mereka itu pada umumnya, kalau tidak para pencela, pasti para pemuja, sehingga tidak satupun yang dapat diterima riwayatnya. Dengan demikian, tatkala kita mempelajari masyarakat Islam dengan pandangan seperti ini, yaitu mempelajarinya secara kritis dan teliti dari seluruh aspek, tentu akan kita dapati bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat terbaik dari masyarakat lain yang pernah ada di dunia. Karena memang demikianlah keadaannya pada abad pertama, kedua, ketiga, lalu ber lanjut pada abad-abad ber ikutnya hingga pertengahan abad ke-12 Hijriyah. Akan kita jumpai bahwa masyarakat telah menerapkan Islam di sepanjang sejarahnya sampai berakhirnya masa Daulah Utsmaniyah yang merupakan Daulah Islam. Perlu diperhatikan juga bahwa sejarah tidak boleh dijadikan sebagai sumber rujukan bagi peraturan dan fiqih. Peraturan hanya diambil dari sumber-sumber fiqih, bukan dari sejarah, sebab sejarah bukanlah sumber fiqih. Sebagai contoh, apabila kita hendak memahami sistem komunis, maka kita tidak dapat mengambilnya dari sejarah Rusia akan tetapi mengambilnya dari buku-buku ideologi komunis. Begitu pula jika kita hendak mengetahui perundang-undangan Inggris, maka kita tidak bisa mengambilnya dari sejarah Inggris, akan tetapi mengambilnya dari kodifikasi hukum Inggris itu sendiri. Kaedah ini berlaku untuk setiap sistem dan undang-undang. Begitu pula halnya dengan Islam sebagai ideologi yang memiliki akidah dan peraturan. Apabila kita ingin mengetahui dan mengambilnya, maka sama sekali tidak dibenarkan menjadikan sejarah sebagai sumber rujukan, tidak dari segi pengetahuan tentang peraturannya dan tidak pula dari segi cara pengambilan hukum-hukumnya (istinbath). Adapun dari segi sumber pengetahuan tentang peraturan, hal ini dapat diambil dari buku-buku fiqih Islam. Sedangkan sumber pengambilan hukum (istinbath), dapat diketahui dari pengambilan dalil-dalilnya yang rinci. Itulah sebabnya tidak dibenarkan meletakkan sejarah sebagai rujukan (sumber) bagi peraturan Islam, baik dilihat dari segi pengetahuan tentang peraturan maupun dari segi pengambilan dalil-dalilnya. Dengan demikian tidak dibenarkan menjadikan sejarah Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Azis, Harun al-Rasyid, dan lain-lain sebagai sumber hukum, baik dilihat dari berbagai peristiwa sejarah yang menuturkan mereka maupun buku-buku yang dikarang tentang biografi mereka. Apabila ada pendapat Umar dalam suatu perkara diikuti, tidak lain karena itu merupakan hukum syara yang di-istinbath-kan dan diterapkan oleh Umar. Sama halnya dengan mengikuti hukum yang telah di-istinbathkan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ja’far dan sebagainya; bukan diikuti karena itu adalah peristiwa sejarah. Jadi sejarah tidak mendapatkan porsi dalam pengambilan peraturan, atau untuk mengetahuinya. Lebih dari itu, untuk mengetahui apakah peraturan itu pernah diterapkan atau tidak, juga tidak dapat diambil dari sejarah melainkan dari fiqih. Sebab, setiap periode memiliki problematikanya sendiri yang dipecahkan dengan peraturan. Untuk mengetahui peraturan apa yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut, kita tidak dapat merujuk kepada peristiwa sejarah. Sejarah hanya memberitahu kita tentang berita/informasi yang menyangkut kejadian di masa lampau. Kita harus kembali pada peraturan yang pernah diterapkan, yang tidak lain adalah fiqih Islam. Setelah kita kembali kepada fiqih Islam, di dalamnya tidak dijumpai satu peraturanpun yang diambil kaum Muslim berasal dari bangsa-bangsa lain. Dan tidak ada satu peraturanpun yang ditetapkan oleh kaum Muslim berdasarkan pendapatnya semata. Yang kita jumpai adalah bahwasanya peraturan tersebut seluruhnya terdiri dari hukum-hukum syara’ yang di-istinbath dari dalil-dalil syara’. Dan bahwasanya kaum Muslim selalu bersikap tegas dalam memurnikan fiqih dari pendapat/hasil istinbath yang lemah. Sampai-sampai mereka melarang mengikuti pendapat yang lemah, sekalipun berasal dari seorang mujtahid mutlak. Karena itu, tidak ada satu sistem perundang-undangan di seluruh dunia Islam yang mengandung satu hukum selain dari fiqih Islam. Yang ada hanya fiqih Islam saja. Fakta ini, yaitu hanya ada satu-satunya teks fiqih bagi satu umat tanpa ada teks yang lain, adalah bukti yang menunjukkan bahwa umat tidak pernah menggunakan teks apapun dalam pembuatan perundang-undangannya selain dari nash. Perihal sejarah, kalaupun kita ingin menoleh kepadanya, tidak lain hanya untuk mengetahui bagaimana cara penerapan peraturan. Bisa saja sejarah mencatat berbagai peristiwa politik, sehingga dapat diketahui tata cara penerapan peraturan. Meskipun hal ini boleh diambil tetapi hanya dari sejarawan muslim, dan itupun setelah diteliti dengan cermat. Sejarah itu mempunyai tiga sumber: pertama, catatan-catatan sejarah, kedua, peninggalan-peninggalan sejarah, dan ketiga, riwayat. Catatan-catatan sejarah tidak dapat dijadikan sumber secara mutlak, karena catatan-catatan itu selalu dipengaruhi oleh situasi politik di setiap zaman, dan senantiasa tercampur dengan kepalsuan, baik dengan mendukung orang-orang tertentu di masa penulisannya, atau menentang orang-orang tersebut yang ditulis pada masa sesudahnya. Bukti konkrit yang menunjukkan hal ini ialah sejarah keluarga Muhammad Ali Pasya (seorang Wali di Mesir pada masa Utsmaniyah). Sebelum tahun 1952 M keluarga itu memiliki gambaran yang positif. Akan tetapi setelah tahun 1952 M, ternyata sejarah berubah sama sekali, menjadi gambaran hitam yang bertolak belakang dengan masa sebelumnya. Begitu pula halnya dengan sejarah kejadian politik di zaman kita ataupun periode sebelumnya. Karena itu, kita tidak boleh menjadikan catatan-catatan sejarah sebagai sumber bagi sejarah, sekalipun hal itu merupakan catatan harian yang ditulis oleh orang bersangkutan. Peninggalan-peninggalan sejarah, selama dipelajari dengan obyektif dapat menunjukkan fakta sejarah. Sekalipun peninggalan-peninggalan sejarah itu tidak mampu membentuk rantai sejarah, akan tetapi dapat menunjukkan kepastian sebagian peristiwa. Jika kita meneliti peninggalan-peninggalan sejarah di setiap negeri kaum Muslim, baik berupa bangunan, peralatan, atau apa saja yang dianggap sebagai peninggalan sejarah, akan menunjukkan bukti yang pasti bahwa tidak pernah ada di seluruh dunia Islam, kecuali hanya Islam, serta peraturan dan hukum-hukum Islam semata. Begitu pula seluruh aspek kehidupan kaum Muslim serta segala tingkah lakunya, semuanya serba Islam, bukan yang lain. Mengenai sumber yang ketiga, yaitu riwayat, termasuk sumber-sumber yang layak dipercaya dan dapat dijadikan sebagai pegangan, selama riwayatnya benar. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan sebuah hadits. Dengan cara inilah hendaknya sejarah ditulis. Kita menjumpai kaum Muslim, ketika mereka mulai menulis buku sejarah, menggunakan metode riwayat. Itu terlihat pada buku-buku sejarah lama, seperti tarikh Thabari, sirah Ibnu Hisyam, dan sebagainya, yang dikarang dengan metode ini. Atas dasar inilah, kaum Muslim tidak boleh mengajarkan sejarah Islam kepada putra-putrinya melalui catatan-catatan sejarah yang dikarang dengan merujuk kepada catatan lainnya. Begitu juga untuk memahami penerapan peraturan Islam tidak boleh merujuk pada buku/catatan sejarah. Dari sini tampak jelas bahwa hanya Islam satu-satunya yang diterapkan atas seluruh umat Islam di setiap masa. Bukan yang lain. Sayangnya sejak berakhir perang dunia pertama dengan kemenangan di pihak Sekutu, Lord Allenby, panglima perang Sekutu tatkala menaklukkan Baitul Maqdis berkata: “Sekarang berakhirlah perang Salib”. Sejak saat itu para penjajah kafir mulai menerapkan berbagai peraturan kapitalis di tengah-tengah kehidupan kita, mencakup seluruh aspek kehidupan, agar kemenangannya bersifat abadi. Maka kita wajib mengubah peraturan yang busuk dan rusak ini. Dengan peraturan ini kolonialisme terus berlanjut di negeri-negeri kita. Kita harus membongkar dari akarnya secara total, bahkan sampai yang sekecil-kecilnya sehingga kita dapat mengembalikan lagi kehidupan Islam. Sungguh suatu kedangkalan berpikir apabila kita ingin mengganti sistem peraturan kita dengan peraturan lain. Adalah pemikiran bodoh apabila umat ini hanya menerapkan peraturan saja tanpa memperhatikan akidah, yang dapat menyelamatkannya. Yang harus dilakukan umat adalah memeluk akidah dahulu, baru kemudian menerapkan peraturan yang terpancar dari akidah ini. Pada saat itulah umat dapat diselamatkan setelah menerima akidah dan menerapkan peraturan (Islam). Inilah jalan yang harus ditempuh oleh umat yang terikat dengan mabda tertentu. Yang menjadikan mabda tersebut sebagai landasan bagi negaranya. Adapun umat dan bangsa-bangsa lain tidak perlu menganut satu mabda hingga sebuah mabda diterapkan atas mereka. Yang diharuskan adalah umat yang telah menganut akidah dan mengembannya, kemudian menerapkannya kepada bangsa atau umat mana saja, sekalipun mereka tidak menganut mabda tersebut. Karena, hal ini akan membawa kebangkitan juga bagi bangsa tersebut, malah akan menarik perhatian untuk memeluk mabda itu. Memeluk mabda bukanlah syarat bagi umat yang akan dikenai/diterapkan kepadanya mabda. Mabda wajib dianut dan menjadi syarat mutlak bagi pihak yang akan menerapkannya. Adalah sangat berbahaya jika kita mengambil nasionalisme, dan peraturan sosialis. Sosialisme tidak dapat diambil secara terpisah dari ide dasarnya yaitu materialisme, karena tidak akan menghasilkan sesuatu dan tidak pula mempunyai pengaruh (terhadap masyarakat). Juga tidak bisa diambil secara bersamaan dengan ide-dasarnya, yaitu materialisme, karena ide tersebut merupakan pemikiran yang negatif yang berlawanan dengan fitrah manusia, bahkan bisa mendorong umat Islam meninggalkan akidahnya. Kita juga tidak boleh mengambil sosialisme dari satu segi, sementara aspek kerohaniannya dari Islam. Sikap seperti ini, berarti kita tidak mengambil Islam, juga tidak sosialisme. Keduanya saling bertentangan, disamping banyaknya kekurangan dalam sosialisme. Kita tidak diperkenankan mengambil peraturan Islam, sementara akidah yang memancarkan peraturannya ditinggalkan. Sebab, dengan cara ini kita mengambil peraturan bagaikan tubuh yang tidak memiliki ruh. Kita harus mengambil Islam secara sempurna, baik akidah maupun peraturannya; serta hendaknya kita mengemban qiyadah fikriyah Islam pada saat kita mengemban dakwah Islam. Sesungguhnya jalan kebangkitan kita hanya satu, yaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam. Tidak ada jalan lain untuk melanjutkan kehidupan Islam itu kecuali dengan tegaknya Daulah Islam. Dan hal itu tak dapat diraih kecuali kita mengambil Islam secara total: yaitu mengambil Islam sebagai akidah yang mampu memecahkan masalah utama (al-uqdatul kubra) manusia, yang diatasnya dibangun pandangan hidup; juga mengambilnya sebagai peraturan yang terpancar dari akidah Islam. Asas peraturan ini adalah Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, sedangkan kekayaan khazanahnya adalah tsaqofah Islam yang mencakup fiqih, hadits, tafsir, bahasa dan lain sebagainya. Tidak ada jalan menuju ke arah itu melainkan dengan mengemban qiyadah fikriyah Islam secara total, yaitu dengan cara mendakwahkan Islam, serta dengan cara mewujudkan Islam secara sempurna di setiap negeri. Apabila qiyadah fikriyah Islam sampai kepada umat dan Daulah Islam, barulah kita dapat mengembangkan qiyadah fikriyah ke seluruh penjuru dunia. Inilah satu-satunya jalan untuk menghasilkan kebangkitan: yaitu dengan mengemban qiyadah fikriyah Islam kepada kaum Muslim untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam. Kemudian menyebarluaskannya kepada umat manusia melalui Daulah Islam.