INGIN TAHU LEBIH BANYAK NURUL FIKRI. KLIK http://nurulfikri.co TELPON 021-59410357 / 089523587065 (SMS/WA/TELEGRAM)

Sabtu, 05 Desember 2015

PERATURAN HIDUP DALAM ISLAM

Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dengan dirinya dan dengan manusia sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan, dan pakaian. Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara mu’amalah dan uqubat (sanksi). Dengan demikian Islam merupakan mabda (prinsip ideologis) yang ,mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan berupa teologi. Bahkan tidak ada kaitannya sedikit pun dengan sistem kepastoran. Islam menjauhkan otokrasi/teokrasi (kediktatoran pemerintahan agama, pent.). Di dalam Islam tidak ada istilah (sekelompok) ahli agama, juga tidak dijumpai istilah ahli politik. Setiap orang yang memeluk agama Islam disebut sebagai kaum muslimin. Semuanya sama di hadapan agama. Jadi di dalam Islam tidak ada istilah rohaniawan ataupun teknokrat. Adapun yang dimaksud dengan aspek kerohanian didalam Islam adalah, bahwa segala sesuatu itu adalah makhluk bagi Khaliqnya, yang teratur mengikuti perintah dan kehendak Khaliq.Berdasarkan tinjauan yang mendalam tentang alam, manusia, dan hidup, serta apa-apa yang berada di sekitarnya dan yang berkaitan dengannya, maka manusia dapat membuktikan kekurangan, kelemahan, dan ketergantungan dirinya. Ini dapat diindera dan disaksikan atas segala sesuatu yang berkaitan dengannya (yaitu alam semesta, manusia, dan hidup, pent.). Inilah yang menunjukkan secara pasti bahwa ketiganya adalah makhluk bagi Khaliq dan diatur menurut perintah dan kehendak-Nya. Dan bahwasanya manusia itu dalam menjalankan kehidupannya memerlukan sistem yang mengatur naluri dan kebutuhan jasmaninya. Tentu saja aturan itu tidak mungkin berasal dari manusia, karena ia bersifat lemah dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Juga karena pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat mungkin sekali terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Suatu hal yang hanya akan melahirkan tata aturan yang saling bertentangan, yang berakibat kesengsaraan pada manusia. Karena itu, peraturan tersebut harus berasal dari Allah SWT. Konsekuensinya, manusia harus menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan peraturan yang bersumber dari Allah SWT. Namun, apabila dalam mengikuti peraturan ini berdasarkan hanya pada adanya manfaat di dalam peraturan, bukan berdasarkan pada kesadaran bahwa peraturan tersebut bersumber dari Allah, tentu tidak terdapat aspek kerohanian didalamnya. Berdasarkan hal ini, hendaknya seluruh amal perbuatan manusia diatur berdasarkan perintah dan larangan Allah, yang dilandasi oleh kesadaran manusia terhadap hubungannya dengan Allah SWT, sehingga akan terwujudlah ruh dalam amal-amal perbuatannya. Dengan kata lain harus ada kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan kesadarannya ini manusia akan menyesuaikan seluruh amal perbuatannya sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Sehingga ruh akan nampak pada saat melakukan setiap amal perbuatannya. Arti ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan menggabungkan ruh dengan materi adalah terwujudnya kesadaran akan hubungannya dengan Allah, tatkala ia melakukan amal perbuatan. Dengan demikian, manusia akan menyesuaikan setiap amal perbuatannya dengan peintah Allah dan larangan-Nya berdasarkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Amal perbuatan bersifat materi, sedangkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah tatkala melakukan setiap perbuatan dinamakan ruh. Penggabungan antara amal perbuatan dengan perintah Allah dan larangan-Nya yang didasarkan pada kesadaran hubungannya dengan Allah, itulah yang dimaksud dengan menyatukan materi dengan ruh. Atas dasar penjelasan ini maka kesesuaian amal perbuatan orang yang bukan muslim dengan hukum-hukum syari’at yang digali dari Al-Quran dan Sunah tidak tergolong sebagai aktivitas yang dipengaruhi oleh ruh. Bahkan penggabungan materi dengan ruh tidak ada sama sekali dalam perbuatannya itu, sebab, ia tidak beriman kepada Islam. Dengan sendirinya ia tidak menyadari hubungannya dengan Allah. Ia hanya mengambil hukum-hukum syariat itu sebagai peraturan yang dikaguminya, yang mengatur segala amal perbuatannya. Berbeda halnya dengan seorang muslim yang melakukan segala perbuatan sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT yang dibangun berlandaskan kesadaran hubungannya dengan Allah, dan tujuannya hanya mencari keridlaan Allah SWT, bukan sekedar mendapatkan manfaat dari peraturan. Karena itu, harus terdapat aspek rohaniah dalam segala sesuatu, dan harus ada ruh tatkala melakukan seluruh amal perbuatan. Setiap orang harus memahami dengan jelas bahwa arti aspek kerohanian adalah segala sesuatu itu merupakan makhluk bagi Khaliq/. Ia adalah penghubung makhluk dengan Khaliq-nya. Sedangkan ruh adalah kesadaran tentang hubungan ini, -yaitu kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian dan ruh. Inilah satu-satunya persepsi/ mafhum yang benar. Diluar persepsi itu adalah salah. Tinjauan yang mendalam dan cemerlang mengenai alam, hidup, dan manusia, inilah yang telah menghantarkan kepada hasil pemikiran yang benar, serta telah menghasilkan persepsi yang benar. Sebagian agama memandang bahwa alam terdiri dari dua jenis, yang dapat diindera dan yang abstrak (ghaib). Manusia terdiri dari aspek kerohanian dan jasmani. Di dalam kehidupan terdapat unsur materi dan aspek rohani. Bahwa unsur materi itu berlawanan dengan perkara ghaib. Karena itu, aspek kerohanian tidak akan pernah bertemu dengan unsure materi. Keduanya terpisah. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat prinsipil dilihat dari hakekatnya, dan tidak mungkin keduanya disatukan. Setiap usaha untuk memperkuat salah satu dari keduanya justru akan memperlemah salah satunya. Berdasarkan hal ini maka orang yang menghendaki kehidupan akhirat harus memperkuat aspek spiritualnya. Dari sini timbullah dalam agama Masehi dua kekuasaan, yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan politik, yang terkenal dengan semboyan: ‘Berilah apa yang menjadi milik kaisar untuk kaisar, dan apa yang menjadi milik Allah untuk Allah’. Sementara itu, yang menguasai kekuasaan spiritual adalah para pastor dan gerejawan, yang selalu berusaha untuk mengambil alih kekuasaan politik agar berada di tangannya. Maksudnya agar mereka dapat memperkuat kekuasaan spiritual atas kekuasaan politik dalam kehidupan. Akibatnya muncul pertentangan antara kekuasaan spiritual dengan kekuasaaan politik. Pada akhirnya disepakati bahwa para gerejawan diberi hak otonom dalam kekuasaan spiritual dan tidak boleh mencampuri kekuasaan politik. Agama telah dipisahkan dari kehidupan, karena bersifat teokratis/ritual belaka. Pemisahan antara agama dan kehidupan inilah yang menjadi akidah bagi mabda kapitalis, sekaligus menjadi asas peradaban Barat. Ini pulalah yang menjadi qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) yang dipropagandakan imperialis Barat ke seluruh dunia, dan selalu mereka propagandakan serta dijadikan tonggak kebudayaannya. Dengan asas itu mereka berusaha menggoncang akidah kaum muslimin terhadap Islam. Mereka menyamakan Islam dengan agama masehi (Nashrani), dengan analogi menyeluruh. Dengan demikian siapa saja yang mempropagandakan “pemisahan agama dari kehidupan” atau “pemisahan agama dari negara dan politik” tidak lain –mereka- hanyalah pembebek yang dipengaruhi dan disetir oleh qiyadah fikriyah Barat, menjadi kaki tangan para penjajah -tanpa dilihat lagi apakah berniat baik atau buruk-. Orang semacam ini bisa dikatakan bodoh, tidak mengerti Islam, atau bahkan musuh yang menentang Islam. Islam mengaggap bahwa segala sesuatu yang dicerap oleh indera adalah hal-hal yang berbentuk materi. Sedangkan aspek kerohaniannya adalah keberadaannya sebagai makhluk. Dan ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah. Tidak ada sesuatu yang terpisah antara aspek ruhiyah dengan materi. Tidak ada dalam diri manusia mengintensifkan rohani dan menggelandangkan jasmani. Yang ada pada diri manusia adalah kebutuhan jasmani dan naluri yang harus dipenuhi. Diantara naluri-naluri itu terdapat naluri beragama, yaitu kebutuhan terhadap Sang Pencipta dan Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia secara alami dalam proses kejadiannya. Pemenuhan naluri-naluri itu tidak disebut sebagai aspek kerohanian ataupun aspek materi, melainkan hanya sekedar penyaluran saja. Namun demikian, apabila kebutuhan jasmani dan naluri itu disalurkan menurut aturan-aturan Allah disertai kesadaran akan hubungannya dengan Allah, berarti dia telah sejalan dengan ruh. Tetapi jika kebutuhan jasmani dan naluri dipenuhi tanpa aturan, atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, maka hal itu hanya merupakan pemenuhan materi/jasmani semata, yang mengakibatkan kenestapaan manusia. Naluri melestarikan jenis, misalnya, apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, hal ini akan menyebabkan kesengsaraan manusia. Sebaliknya, apabila terpenuhi dengan tata-aturan perkawinan yang berasal dari Allah SWT, sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka perkawinan itu akan menghasilkan ketenteraman. Contoh lain adalah naluri beragama. Apabila dipenuhi tanpa aturan atau dengan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT, misalnya dengan menyembah patung atau menyembah sesama manusia, maka hal ini termasuk perbuatan syirik dan kufur. Sebaliknya, apabila dipenuhi dengan hukum-hukum Islam, maka pemenuhan tersebut merupakan ibadah. Adalah suatu keharusan untuk selalu memelihara aspek kerohanian dalam segala perkara, dan selalu menyesuaikan seluruh amal perbuatan dengan perintah dan larangan Allah, dengan dilandasi atas kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan kata lain, hendaknya sesuai dengan ruh. Jadi, dalam satu amal perbuatan tidak ada dua unsur (spiritual dan materi). Yang ada hanya satu macam saja, yaitu amal perbuatan itu sendiri. Adapun sifatnya, apakah termasuk materi belaka ataukah berjalan sesuai dengan ruh, hal ini bukan berasal dari amal perbuatan, melainkan berasal dari apakah amal perbuatan berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam atau tidak. Seorang muslim yang membunuh musuhnya di medan perang, perbuatannya itu termasuk jihad. Ia memperoleh pahala karena telah berbuat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sedangkan seorang muslim yang membunuh jiwa yang suci (baik muslim maupun non muslim) tanpa alasan –yang dibenarkan syariat Islam-, perbuatannya itu termasuk tindakan kriminal. Ia memperoleh sanksi karena telah berbuat sesuatu yang berlawanan dengan perintah dan larangan Allah. Dua tindakan ini sebenarnya satu macam, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seorang manusia. Pembunuhan bisa menjadi ibadah tatkala dilakukan berdasarkan ruh, dan bisa menjadi kejahatan apabila dilakukan tidak sesuai dengan ruh. Karena itu, sudah selayaknya seorang muslim menyertakan ruh pada setiap amal perbuatannya. Jadi, penggabungan antara ruh dengan materi bukan saja perkara yang dianggap mungkin terjadi, tetapi memang harus dilakukan. Artinya, tidak boleh memisahkan materi dengan ruh. Tidak boleh memisahkan setiap perbuatan dengan keterikatannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT, yang dilandasi kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Dengan demikian, setiap usaha pemisahan antara aspek kerohanian dengan materi harus dihindari. Sebab, di dalam Islam tidak ada profesi keagamaan. Tidak ada kekuasaan agama dalam arti teokrasi. Juga tidak ada kekuasaan politik yang terpisah dari agama. Islam adalah agama dimana negara menjadi salah satu bagian dari agama. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai hukum, yang kedudukannya sama dengan hukum-hukum tentang shalat. Negara merupakan satu-satunya metode untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan menyebarluaskan dakwahnya. Setiap usaha yang akan menyudutkan agama dengan ar ti ritual belaka dan menyingkirkannya dari arena politik dan pemerintahan, harus disingkirkan. Yayasan-yayasan yang mengelola aktivitas kerohanian hendaknya ditiadakan. Badan pemerintah yang mengurus masjid dihapus, lalu pengaturannya dialihkan kepada Departemen Pendidikan. Demikian pula mahkamah-mahkamah syariat dan sipil dirombak, dan dijadikan peradilan tunggal, yang hanya menerapkan hukum Islam. Sebab, kekuasaan Islam itu adalah kekuasaan tunggal. Islam adalah akidah dan peraturan (syariat). Akidah Islam adalah beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, serta Qadla dan Qadar -bahwa baik buruknya dari Allah SWT-. Islam membangun akidah berdasarkan pembuktian akal dalam hal-hal yang dapat dijangkau oleh akal. Seperti iman kepada wujud (keberadaan) Allah, kenabian Muhammad SAW, dan terhadap (mukjizat) Al- Quran Al-Karim. Dan Islam membangun hal-hal yang ghaib, yaitu perkara yang akal tidak mungkin mampu menjangkaunya. Seperti Hari Kiamat, keberadaan malaikat, Surga dan Neraka, yang didasarkan pada pengakuan dan penyerahan total, yang bersumber dari sesuatu yang telah terbukti kebenarannya melalui akal, yaitu Al-Quran Al-Karim dan Hadits mutawatir. Disamping itu Islam telah menjadikan akal sebagai obyek hokum (taklif). Adapun yang dimaksud dengan peraturan Islam, adalah hukum-hukum syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Peraturan Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Hanya saja dalam bentuk-bentuk yang umum (garis besar), dan dengan makna-makna (petunjuk) yang umum pula. Sedangkan rinciannya dapat digali dari berbagai makna-makna umum tadi tatkala menerapkan hukum-hukum tersebut. Didalam Al-Quran dan Hadits Syarif telah terhimpun garis-garis besar, yaitu mencakup berbagai keterangan umum untuk memecahkan berbagai urusan manusia secara universal. Para mujtahid diberikan kebebasan untuk menggali keterangan-keterangan umum tersebut menjadi hukum-hukum yang terperinci, tentang berbagai macam problematika yang muncul sepanjang masa dan diberbagai tempat yang berbeda. Islam hanya memiliki satu metoda (thariqah) dalam memecahkan berbagai macam problematika, yaitu dengan cara mendorong seorang mujtahid untuk mempelajari persoalan- persoalan yang baru, sehingga benar-benar memahaminya. Kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Dan pada akhirnya mengambil kesimpulan hukum untuk memecahkan persoalan itu berdasarkan nash- nash syara’. Dengan kata lain seorang mujtahid menggali hokum syara’ tentang persoalan tersebut dari dalil-dalil syar’i. Secara mutlak ia tidak menempuh jalan yang lain. Namun demikian tatkala ia mempelajari persoalan tersebut, ia harus mempelajarinya sebagai salah satu persoalan manusia secara universal dan tidak menganggapnya sebagai persoalan ekonomi, sosial, atau pemerintahan saja, atau yang lainnya. Hal itu dilihatnya sebagai persoalan yang memerlukan ketentuan hukum syara sehingga dapat diketahui hukum Allah yang berkaitan dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar