INGIN TAHU LEBIH BANYAK NURUL FIKRI. KLIK http://nurulfikri.co TELPON 021-59410357 / 089523587065 (SMS/WA/TELEGRAM)

Sabtu, 19 Maret 2016

GLOBALISASI

Perumpamaan kata “globalisasi” di antara istilah-istilah baru, adalah bagaikan “jilbab” di antara pakaian dan bagaikan “kuda Troya” di antara sarana perang. Artinya, dia menutupi apa yang terkandung di dalam-nya, untuk menyembunyikan sesuatu yang ditutupi-nya, bahkan menyembunyikan lebih banyak dari sekedar sesuatu yang dapat ditutupi.
       Yang sangat jelas membuktikan hal itu, adalah apa yang pernah terjadi di Beirut pada akhir tahun 1997, tatkala Pusat Studi Kesatuan Arab --sebagai salah satu lembaga peninggalan kaum nasionalis Arab--  menye-lenggarakan konferensi untuk mengkaji globalisasi dan sikap yang harus diambil negara-negara Arab untuk menghadapinya, seakan-akan mereka menganggap bahwa globalisasi bertolak belakang dan mengancam ide nasionalisme. 
       Dalam konsideran yang terdapat dalam undangan konferensi, dinyatakan bahwa topik konferensi adalah:
1.  Globalisasi dan metode negara-negara Arab dalam memahami dan menyikapinya.
2.  Kemunculan globalisasi di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
3.  Sejarah, riwayat, dan peran globalisasi saat ini.
4.  Sikap Amerika terhadap globalisasi, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan padamnya Perang Dingin.
5.  Dampak globalisasi di bidang ekonomi dan pem-bangunan di negara-negara Arab.
6.  Pencarian peran dan identitas kebudayaan Arab.
        Pada konferensi itu diundang puluhan ulama dan profesor dari berbagai universitas. Ternyata mereka mempunyai persepsi yang simpang siur mengenai globalisasi dan bagaimana mensikapinya.  Koran-koran lokal telah mempublikasikan resume berbagi lontaran peserta konferensi tersebut yang diselenggarakan tiga hari berturut-turut, yang menunjukkan konferensi itu lebih tepat disebut “debat kusir” daripada sebuah konferensi yang serius membahas suatu pemikiran. Akhirnya panitia konferensi memutuskan, bahwa konferensi tidak akan mengeluarkan resolusi atau rekomendasi apa pun.
       Globalisasi adalah istilah baru dalam bahasa Inggris dan Perancis yang muncul sejak sekitar 10 tahun lalu.  Istilah ini  tidak digunakan untuk mensifati sesuatu bahwa keberadaan atau terwujudnya sesuatu itu telah berskala global di sebagian besar penjuru dunia, tetapi digunakan untuk menyatakan bahwa ada satu atau beberapa pelaku ekonomi yang bermaksud meng-globalkan sesuatu. Misalnya, ada satu perusahaan tertentu yang mengadopsi kebijakan produksi yang memandang seluruh dunia sebagai tempat yang layak untuk memproduksi barangnya. Kemudian perusahaan itu benar-benar memproduksi barangnya di satu atau beberapa negara dengan biaya produksi yang lebih rendah daripada di negara lainnya. Pada saat itulah, dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah “meng-globalisasikan” produknya. Istilah ini diterapkan pula untuk kegiatan-kegiatan lain dari perusahaan tersebut atau perusahaan lainnya, misalnya kalau perusahaan itu mengadopsi kebijakan “globalisasi” untuk memasarkan produknya, mempromosikan produknya, atau mencari komoditas-komoditas baru beserta divesifikasinya. Ataupun untuk mempekerjakan para buruh, ahli, dan manajer, atau menarik para investor dan kreditor guna membiayai kegiatan-kegiatan perusahaan, dan lain sebagainya.
       Istilah globalisasi ini pertama kali digunakan untuk mensifati kegiatan perusahaan-perusahaan besar Amerika pada awal pertengahan 80-an. Pada saat Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika tahun 1981, dia mengambil kebijakan-kebijakan yang berani dalam hubungan internasional, baik di bidang ekonomi maupun politik, yang mendapat dukungan kuat dari kalangan bisnis Amerika. Di antara kebijakan itu adalah kebijakan dolar kuat untuk menarik para investor di luar negeri agar mereka mau menginvestasikan modal-nya pada obligasi-obligasi pemerintah Amerika dan pasar-pasar modal yang ada di sana. Tujuannya adalah untuk membiayai program-program Reagan untuk mempersenjatai kembali Amerika dan untuk memukul Uni Soviet dalam perlombaan senjata yang tengah berkecamuk saat itu. Program ini benar-benar telah berhasil menjatuhkan perekonomian Komunisme pada tahun 1989.
        Kebijakan dolar kuat ini mengakibatkan nilai dolar mengalami kenaikan yang tinggi dan tetap konstan pada tahun-tahun pertama pemerintahan Reagan, hingga indeks nilai tukar dolar --bila diukur dengan mata uang negara-negara lain dan dibandingkan dengan pertu-karan perdagangan Amerika-- mencapai 159 poin pada Pebruari 1985. Padahal pada bulan pertama peme-rintahan Reagan, yakni bulan Januari 1981, indeks nilai tukar dolar adalah 91 poin. Artinya, nilai tukar dolar naik 75 %.
       Di antara keberanian langkah politik Reagan, dia tidak memperhatikan dampak negatif atau efek samping dari kebijakan dolar kuat yang diambilnya, karena dia mengkonsentrasikan diri untuk memenangkan per-tarungan Kapitalisme melawan Komunisme.  Di antara dampak negatif yang ada, adalah meningkatnya nilai dolar yang telah melemahkan kemampuan Amerika dalam kompetisi antara produk asing dengan produk Amerika, di dalam negeri Amerika.  Akibatnya, ekspor Amerika merosot sementara impornya melonjak tajam. Defisit neraca perdagangan luar negeri Amerika semakin terakumulasi dalam jumlah besar pada masa Reagan, sebab jumlah totalnya --pada masa pemerintahan Reagan di tahun 80-an-- telah mencapai 723 miliar dolar AS. Padahal pada masa presiden sebelumnya di awal 80-an, jumlah total defisit hanya 4 miliar dolar AS.
       Di antara dampak negatif kebijakan dolar kuat, adalah berkurangnya laba dari  banyak perusahaan Amerika, disebabkan adanya persaingan antara produk asing dengan produk Amerika yang harganya meng-gunakan standar dolar. Ini memaksa perusahaan-perusahaan Amerika untuk menurunkan harga barang-nya, kemudian meninjau secara serius cara mengurangi biaya produksi barangnya, khususnya upah untuk buruh Amerika.
       Sekelompok profesor dari beberapa universitas di Amerika kemudian melontarkan ide restrukturisasi bagi perusahan-perusahaan ini, dengan mengadakan tin-jauan ulang secara mendasar terhadap kegiatan-kegiat-an perusahaan, baik dalam hal produksi, pemasaran, maupun kegiatan lainnya. Ide ini mendapat sambutan hangat dari kalangan investor dan pengusaha Amerika.  Penerapan ide ini secara nyata ternyata mengakibatkan ditutupnya banyak pabrik dan cabang-cabang perusa-haan Amerika, serta diberhentikannya sejumlah besar pegawai dan buruh perusahaan dengan pesangon yang besar. Misalnya seperti yang pernah dilakukan oleh General Motor --perusahaan mobil terbesar di Amerika-- yang memberhentikan sekaligus 74 ribu karyawannya, atau IBM --perusahaan komputer terbesar di sana-- yang memberhentikan 60 ribu karyawannya dalam tiga tahap pada waktu yang hampir bersamaan.
       Setelah mengadakan restrukturisasi, perusahaan-perusahaan ini kemudian mencari kompensasi dari produksi pabrik yang telah ditutupnya, atau produksi cabang pabrik yang telah dijualnya di Amerika. Caranya ialah dengan mencari produksi pengganti yang berasal dari perusahaan-perusahaan kecil yang baru, yang membayar upah buruh-buruhnya dari dana hutang, di mana buruh-buruh ini terutama adalah mereka yang terkena PHK akibat restrukturisasi suatu perusahaan. Cara lainnya, ialah membangun pabrik-pabrik baru dan cabang-cabangnya di luar Amerika, terutama karena efek samping kebijakan dolar kuat, adalah sangat murahnya harga dan upah di luar Amerika. Perusahaan-perusahaan ini memusatkan perhatiannya di negeri-negeri yang miskin dengan penduduk yang berjubel, seperti Indonesia, Filipina, Thailand, India, Meksiko, dan Brazil, di mana upah buruhnya per bulan bahkan masih lebih rendah daripada upah buruh pabrik di Amerika untuk satu atau dua jam saja. Kenyataan seperti ini tidak hanya untuk upah buruh lokal, tetapi termasuk pula gaji para intelektual dan profesional lokal, seperti para insinyur dan programer komputer di mana pun juga. Mereka harus menerima gaji mereka lebih rendah dibanding-kan gaji di Amerika, karena yang mereka butuhkan adalah sekedar pekerjaan dan gaji (yaitu, asal tidak menganggur).
       Di Amerika sendiri muncul konflik politik seputar proses restrukturisasi dan PHK karyawan yang bersifat massal dalam jumlah yang mencengangkan itu. Banyak orang Amerika berpandangan bahwa pengi-riman tenaga kerja Amerika ke luar negeri serta dicegahnya mereka yang di Amerika untuk bekerja, berarti telah memutus mata pencaharian mereka, dan bahwa motif berbagai perusahaan itu tiada lain hanyalah ketamakan kapitalistik belaka. Perusahaan-perusahaan memban-tah, karena mereka merasa  terpaksa untuk menjalankan langkah-langkahnya disebabkan adanya kompetisi “global” yang sangat keras. Mereka menyatakan pula, bahwa tak ada lagi alternatif bagi mereka kecuali harus berkompetisi dalam skala global dan mengglobali-sasikan kegiatan-kegiatannya.
       Komisi-komisi dalam Senat dan Kongres Amerika kemudian mengadakan sidang-sidang investasi ter-buka, untuk meninjau masalah “globalisasi” perusa-haan-perusahaan Amerika tersebut. Ini dilakukan pertama kali tahun 1989 dan yang terakhir tahun 1992. Investigasi-investigasi ini menyebabkan tersebarluas-nya istilah “globalisasi”.  Kemudian komisi-komisi tersebut meresmikan istilah ini dengan mencantum-kannya  sebagai judul keputusan-keputusannya pada tahun 1989 dan tahun-tahun berikutnya. Inilah peng-gunaan istilah “globalisasi” yang pertama kali sebagai judul buku atau keputusan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Sejak itu terbit banyak buku dengan topik “globalisasi” hingga jumlahnya --yang berbahasa Inggris-- mencapai sekitar 260 buah buku. Sebagian besarnya terbit pada dekade 90-an, pada era Bill Clinton.
       Akan tetapi, di balik itu investigasi-investigasi tersebut ternyata telah mencairkan stagnasi politik akibat penentangan terhadap PHK karyawan perusa-haan dan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, juga telah melegitimasi langkah perusahaan-perusahaan tersebut, serta membuat capai media massa yang menentang PHK karyawan.  Investigasi berakhir tahun 1992, dan belum dilanjutkan lagi sejak saat itu, kendatipun masalah PHK cukup menimbulkan dampak pada Pemilu pada akhir 1992. Setelah Clinton meme-gang kekuasaan, Kongres menyetujui kesepakatan NAFTA yang telah dirintis oleh George Bush dengan Kanada dan Meksiko. Padahal kesepakatan itu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusa-haan Amerika dan Kanada untuk membuat barang yang diinginkannya di Meksiko --yang upah buruhnya sangat murah di sana-- kemudian menjualnya di pasar Amerika dan Kanada.  Inilah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh berbagai asosiasi buruh dan kelompok-kelompok politik lainnya di Amerika yang menentang perusahaan-perusahaan tersebut dan menuduh mereka telah mengirimkan tenaga kerja ke luar Amerika.                 
       Jadi, konflik politik yang muncul di Amerika ter-masuk perseteruan politik yang menyertainya seputar PHK massal dan pengiriman tenaga kerja ke luar Amerika, adalah latar belakang tersebarnya istilah yang kemudian terkenal sebagai “globalisasi”.  Perseteruan politik itu telah berakhir tahun 1992, dengan kemenangan di pihak kalangan bisnis Amerika beserta perusahaan-perusahaan mereka.
       Kondisi ini kemudian melahirkan opini umum bahwa tenaga kerja yang profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar, tidak boleh keluar dari Amerika. Tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri haruslah yang hanya mengandalkan tenaga fisik, dengan pekerjaan rutin yang melelahkan, serta upah yang pas-pasan. Padahal, ini pun sama sekali tidak mereka inginkan untuk diri mereka sendiri.
       Teropinikan pula bahwa  jika harapan-harapan itu terwujud, manfaatnya akan kembali juga bagi umum-nya orang Amerika, karena akan membuat Amerika terspesialisasi sebagai negara industri maju dengan tenaga kerja yang kerja profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar.  Dan juga, pengiriman tenaga-tenaga buruh kasar ke luar negeri, artinya adalah barang akan terkumpul atau dibuat oleh buruh-buruh asing yang rendah upahnya di luar negeri, kemudian barang itu akan kembali ke pasar Amerika dengan harga yang sangat murah. 
       Masalah ini berakhir secara politis tahun 1992 tatkala Clinton memegang tampuk kekuasaan tahun 1993 yang kemudian mengubah kebijakan ekonomi luar negeri Amerika. Pendahulu Clinton --George  Bush-- telah mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan ekspor barang dan memprakarsai pembentukan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) sebagai pengganti GATT (Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perda-gangan), untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi ekspor. Tetapi para investor dan kalangan bisnis Amerika memandang bahwa yang lebih penting  dari peningkatan ekspor, adalah penyempurnaan langkah yang telah dirintis pada akhir 80-an, yaitu restrukturi-sasi yang tuntas terhadap perusahaan-perusahaan, untuk menggiatkan perusahaan dan meningkatkan kemampuannya menghasilkan laba. Mereka meman-dang pula bahwa restrukturisasi ini, akan memungkin-kan dikirimkannya para tenaga ahli --bukan hanya barang-- ke luar negeri, di samping memungkinkan Amerika untuk terjun dalam kompetisi yang sangat ketat melawan perusahaan-perusahaan non-Amerika.
       Para investor juga melontarkan ide-ide lain kepada Clinton dan menginginkan agar Clinton mengadopsi-nya. Mereka mengatakan, ketika Amerika bertahun-tahun melancarkan Perang Dingin dan memegang tanggung jawab internasional lainnya, Eropa dan Jepang telah berhasil memperkokoh kekuatan ekonominya, sehingga menjadi ancaman bagi kepentingan-kepentingan vital Amerika. Padahal Perang Dingin telah berakhir, sehingga Amerika wajib mempersiapkan kemampuannya untuk bersaing dengan Eropa dan Jepang, serta mulai menyaingi keduanya dengan kekuatan penuh.  Amerika juga tidak perlu lagi menjaga kepentingan Eropa dan Jepang seperti pada saat Amerika melancarkan Perang Dingin. Demikian pendapat para investor itu. Bahkan, mereka menyerukan untuk mengaktifkan dinas intelijen Amerika untuk memata-matai perekonomian Eropa dan Jepang beserta perusahaan-perusahaannya, setelah sebelumnya kurang terpakai untuk itu karena adanya Perang Dingin dan masalah-masalah politik lainnya.   
       Menyambut berbagai ide dan opini tersebut, Clinton dan Menteri Keuangan Robert Rubin  --yang juga salah seorang pengusaha besar di Wall Street-- mengadopsi kebijakan yang menyerukan dibukanya pasar-pasar dunia seluruhnya, tidak hanya untuk meningkatkan ekspor Amerika, tetapi juga untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan Amerika ber-produksi di mana pun selama tenaga kerjanya murah, memasarkan jasa-jasa dan komoditas industrinya di Amerika dan di mana saja selama Amerika ingin eksis di pasar internasional.  Tetapi yang ter-penting, adalah kebijakan keduanya untuk menggiatkan perusahaan-perusahaan keuangan Amerika --yaitu beraneka macam bank, perusahaan asuransi, dan kantor pialang saham-- untuk  menembus pasar-pasar modal di luar Amerika. Ini adalah hal baru, sebab strategi ini belum pernah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di luar Amerika dalam zona yang sangat luas, di mana sebelumnya kedatangan mereka di kebanyakan negeri tidak pernah disambut baik disebabkan aktivitasnya yang berbahaya.  Karena, perusahaan-perusahaan keuangan pada tabiatnya  selalu berupaya untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, premi asuransi, dana saham dan obligasi, sehingga terjadi akumulasi dana yang sangat besar pada perusahaan keuangan tersebut, yang kemudian dapat dia kelola sesuai kehendaknya.
       Para investor itu senantiasa dihantui oleh suatu ide bahwa segera setelah berakhirnya Perang Dingin, dunia mau tak mau akan terbagi menjadi 3 (tiga) zona kekuatan ekonomi raksasa; Pertama, zona yang meliputi Eropa secara keseluruhan yang akan didominasi negara-negara Eropa Barat, Kedua, zona yang meliputi sebagian besar Asia, yang akan dikuasai oleh Jepang, Ketiga, zona yang meliputi benua Amerika, yakni Amerika Utara dan Amerika Latin, yang akan dikuasai oleh Amerika Serikat Mereka cemas kalau ide ini menjadi kenyataan. Karena itu, mereka menyerang ide ini dengan ganas dan mencapnya sebagai ide yang bersifat regional belaka. Mereka mengisyaratkan bahwa Eropa dan Jepang-lah yang berada di balik sosialisasi ide tersebut.
       Para investor itu kemudian melontarkan ide penggantinya, yaitu bahwa dunia telah menjadi satu, dan bahwa tak ada seorang pun yang lebih berhak dari yang lain untuk mendapatkan sebagian dari padanya. Semua pihak berhak untuk saling bersaing dimana pun juga. Mereka mempropagandakan ide ini melalui serangan media massa yang sangat intensif.  Pemerin-tahan Clinton pun akhirnya mengadopsi ide ini. Karena itu mereka lalu menerbitkan banyak buku, di antaranya buku yang membicarakan “globalisasi” kegiatan-kegiatan perusahaan Amerika.
       Serangan media massa di Amerika itu berhenti  ketika pemerintahan Clinton mengadopsi ide teersebut pada awal masa pemerintahannya. Namun serangan itu terus berlangsung ke luar Amerika di bawah kendali pemerintahan Clinton beserta lembaga-lembaga pelak-sananya.  Di luar Amerika, khususnya di negara-negara yang disebut “negara-negara berkembang”, serangan media massa tetap berlangsung masif, yang akhirnya menyibukkan para penduduknya untuk memikirkan ide-ide yang dangkal dan mengecoh, dengan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas dan  lemah, disertai banyak pemutarbalikan fakta yang tidak bermutu dan terasa aneh bin ajaib.  Akibatnya, banyak orang yang kebi-ngungan menghadapi ide “globalisasi”.
       Meskipun terdapat kekacauan pada ide-ide yang dilontarkan dalam serangan media massa tersebut, tetapi serangan ini memang telah terencana secara sentral untuk mencapai hasil-hasil tertentu, yaitu membentuk dan membuat opini umum agar masyarakat membuka pintu yang seluas-luasnya terhadap segala kegiatan perusahaan-perusahaan Amerika dalam serangannya yang total guna memetik hasil-hasil kemenangan Perang Dingin. Selain itu juga agar Amerika dianggap lebih berhak menguasai pasar tersebut daripada Eropa dan Jepang.
       Sangat disayangkan, serangan tersebut ternyata telah berhasil mencapai target-targetnya, di samping telah makin memantapkan para penguasa yang cen-derung kepada Barat untuk membius bangsanya sendiri dalam menghadapi serangan terbaru Amerika dalam upayanya untuk menembus negeri-negeri mereka. Upaya ini bertujuan untuk membuka pasar  negeri-negeri tersebut terhadap barang  buatan Amerika, memanfaatkan tenaga buruhnya yang murah-meriah demi kepentingan Amerika, mengalirkan harta kekayaan bangsanya ke dalam kantong perusahaan-perusahaan keuangan Amerika, serta mengendalikan pasar-pasar modalnya untuk kepentingan usaha Amerika.
       Ide-ide yang dijajakan dengan kedok “globalisasi” yang dilontarkan Amerika ke luar negeri, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, antara lain :
·      Setelah hancurnya Uni Soviet, tak ada lagi di dunia ini selain sistem ekonomi Barat yang mereka nama-kan “Sistem Ekonomi Pasar”, untuk menggantikan namanya yang sebenarnya, yaitu “Sistem Ekonomi Kapitalis”, yang patut diingat kerakusannya dan reputasinya yang sangat buruk sekali. Dikatakan bahwa seluruh negeri-negeri di dunia kini telah menerapkan sistem tersebut, atau minimal berhasrat  dan berupaya untuk menerapkannya.
· Dunia modal seluruhnya telah menjadi satu, sebab para pemiliknya mampu memindahkannya ke negeri mana pun atau mampu menanamkannya di bidang investasi mana pun dengan keuntungan yang lebih besar daripada pihak lain. Dikatakan bahwa pemindahan modal ini dapat berlangsung secepat kilat karena dimudahkan oleh sarana-sarana komunikasi yang cepat, dan bahwa modal ini tak akan diinvestasikan di negeri-negeri yang membuat penghalang-penghalang untuk menghambat aliran modal.
·  Dunia kerja seluruhnya juga telah menjadi satu. Tetapi perusahaan-perusahaan yang mereka katakan berasal dari bermacam-macam negara, sebenarnya tidak demikian faktanya. Karena, perusahaan induknya (holding company) tetap berasal dari satu negara saja dan tak mungkin kecuali berasal dari satu negara. Perusahaan-perusahaan ini dikatakan ber-kemampuan memproduksi atau memasarkan barang dalam skala global, sehingga negeri mana pun yang sedang giat membangun akan menyambut perusahaan-perusahaan tersebut untuk membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, atau untuk memasar-kan produk-produknya. Jika tidak mau, perusahaan itu akan berpaling menuju negara lain.
· Sarana-sarana komunikasi di seantero pelosok dunia seluruhnya telah sempurna dan saling ber-hubungan secara kompleks sedemikian rupa, sehingga tak ada satu pihak pun yang dapat mendo-minasinya. Dikatakan bahwa saling keterkaitan ini akan menimbulkan kondisi di mana informasi yang diterima masyarakat hampir sama, bahkan berbagai pendapat dan perasaan mereka pun hampir-hampir homogen.
        Inilah beberapa ide “globalisasi” yang dijajakan di negara-negara Dunia Ketiga. Tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melaku-kan privatisasi badan usaha milik negara  (BUMN), agar Amerika dapat dengan mudah membelinya. Mereka mengatakan bahwa tak ada alternatif lain di luar pilihan-pilihan tersebut, jika kita memang ingin menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk meng-globalisasikan modal dan tenaga kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan tetap terbelakang, kata mereka.
       Maka, jangan sampai ada seorang pun yang lalai dari pengaruh seruan dan propaganda yang memutar-balikkan fakta ini, dari kedok “globalisasi” yang di-gunakan untuk menutupi hakikat sebenarnya di negeri mana pun yang sedikit di dalamnya orang-orang yang sadar dan bertanggungjawab, dari kecenderungan penduduknya untuk mengikuti seruan-seruan tersebut dari media massa, serta dari meratanya ketidaktahuan akan masalah ini! 
       Oleh karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda “globalisasi” ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka se-rangan kali ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali ini  sekalipun tidak memakai kedok agama, namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan. [ ]