Perumpamaan kata “globalisasi”
di antara istilah-istilah baru, adalah bagaikan “jilbab” di antara
pakaian dan bagaikan “kuda Troya” di antara sarana perang. Artinya, dia
menutupi apa yang terkandung di dalam-nya, untuk menyembunyikan sesuatu yang
ditutupi-nya, bahkan menyembunyikan lebih banyak dari sekedar sesuatu yang
dapat ditutupi.
Yang
sangat jelas membuktikan hal itu, adalah apa yang pernah terjadi di Beirut pada
akhir tahun 1997, tatkala Pusat Studi Kesatuan Arab --sebagai salah satu
lembaga peninggalan kaum nasionalis Arab--
menye-lenggarakan konferensi untuk mengkaji globalisasi dan sikap yang
harus diambil negara-negara Arab untuk menghadapinya, seakan-akan mereka
menganggap bahwa globalisasi bertolak belakang dan mengancam ide nasionalisme.
Dalam konsideran yang terdapat dalam
undangan konferensi, dinyatakan bahwa topik konferensi adalah:
1.
Globalisasi
dan metode negara-negara Arab dalam memahami dan menyikapinya.
2.
Kemunculan
globalisasi di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
3.
Sejarah,
riwayat, dan peran globalisasi saat ini.
4.
Sikap
Amerika terhadap globalisasi, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet dan
padamnya Perang Dingin.
5.
Dampak
globalisasi di bidang ekonomi dan pem-bangunan di negara-negara Arab.
6.
Pencarian
peran dan identitas kebudayaan Arab.
Pada
konferensi itu diundang puluhan ulama dan profesor dari berbagai universitas.
Ternyata mereka mempunyai persepsi yang simpang siur mengenai globalisasi dan
bagaimana mensikapinya. Koran-koran
lokal telah mempublikasikan resume berbagi lontaran peserta konferensi tersebut
yang diselenggarakan tiga hari berturut-turut, yang menunjukkan konferensi itu
lebih tepat disebut “debat kusir” daripada sebuah konferensi yang serius
membahas suatu pemikiran. Akhirnya panitia konferensi memutuskan, bahwa
konferensi tidak akan mengeluarkan resolusi atau rekomendasi apa pun.
Globalisasi
adalah istilah baru dalam bahasa Inggris dan Perancis yang muncul sejak sekitar
10 tahun lalu. Istilah ini tidak digunakan untuk mensifati sesuatu bahwa
keberadaan atau terwujudnya sesuatu itu telah berskala global di sebagian besar
penjuru dunia, tetapi digunakan untuk menyatakan bahwa ada satu atau beberapa
pelaku ekonomi yang bermaksud meng-globalkan sesuatu. Misalnya, ada satu
perusahaan tertentu yang mengadopsi kebijakan produksi yang memandang seluruh
dunia sebagai tempat yang layak untuk memproduksi barangnya. Kemudian
perusahaan itu benar-benar memproduksi barangnya di satu atau beberapa negara
dengan biaya produksi yang lebih rendah daripada di negara lainnya. Pada saat
itulah, dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah “meng-globalisasikan”
produknya. Istilah ini diterapkan pula untuk kegiatan-kegiatan lain dari
perusahaan tersebut atau perusahaan lainnya, misalnya kalau perusahaan itu
mengadopsi kebijakan “globalisasi” untuk memasarkan produknya, mempromosikan
produknya, atau mencari komoditas-komoditas baru beserta divesifikasinya.
Ataupun untuk mempekerjakan para buruh, ahli, dan manajer, atau menarik para
investor dan kreditor guna membiayai kegiatan-kegiatan perusahaan, dan lain
sebagainya.
Istilah
globalisasi ini pertama kali digunakan untuk mensifati kegiatan
perusahaan-perusahaan besar Amerika pada awal pertengahan 80-an. Pada saat Ronald
Reagan menjadi Presiden Amerika tahun 1981, dia mengambil kebijakan-kebijakan
yang berani dalam hubungan internasional, baik di bidang ekonomi maupun
politik, yang mendapat dukungan kuat dari kalangan bisnis Amerika. Di antara
kebijakan itu adalah kebijakan dolar kuat untuk menarik para investor di
luar negeri agar mereka mau menginvestasikan modal-nya pada obligasi-obligasi
pemerintah Amerika dan pasar-pasar modal yang ada di sana. Tujuannya adalah
untuk membiayai program-program Reagan untuk mempersenjatai kembali Amerika dan
untuk memukul Uni Soviet dalam perlombaan senjata yang tengah berkecamuk saat
itu. Program ini benar-benar telah berhasil menjatuhkan perekonomian Komunisme
pada tahun 1989.
Kebijakan
dolar kuat ini mengakibatkan nilai dolar mengalami kenaikan yang tinggi dan
tetap konstan pada tahun-tahun pertama pemerintahan Reagan, hingga indeks nilai
tukar dolar --bila diukur dengan mata uang negara-negara lain dan dibandingkan
dengan pertu-karan perdagangan Amerika-- mencapai 159 poin pada Pebruari 1985.
Padahal pada bulan pertama peme-rintahan Reagan, yakni bulan Januari 1981,
indeks nilai tukar dolar adalah 91 poin. Artinya, nilai tukar dolar naik 75 %.
Di
antara keberanian langkah politik Reagan, dia tidak memperhatikan dampak
negatif atau efek samping dari kebijakan dolar kuat yang diambilnya, karena dia
mengkonsentrasikan diri untuk memenangkan per-tarungan Kapitalisme melawan
Komunisme. Di antara dampak negatif yang
ada, adalah meningkatnya nilai dolar yang telah melemahkan kemampuan Amerika
dalam kompetisi antara produk asing dengan produk Amerika, di dalam negeri
Amerika. Akibatnya, ekspor Amerika
merosot sementara impornya melonjak tajam. Defisit neraca perdagangan luar
negeri Amerika semakin terakumulasi dalam jumlah besar pada masa Reagan, sebab
jumlah totalnya --pada masa pemerintahan Reagan di tahun 80-an-- telah mencapai
723 miliar dolar AS. Padahal pada masa presiden sebelumnya di awal 80-an,
jumlah total defisit hanya 4 miliar dolar AS.
Di
antara dampak negatif kebijakan dolar kuat, adalah berkurangnya laba dari banyak perusahaan Amerika, disebabkan adanya
persaingan antara produk asing dengan produk Amerika yang harganya meng-gunakan
standar dolar. Ini memaksa perusahaan-perusahaan Amerika untuk menurunkan harga
barang-nya, kemudian meninjau secara serius cara mengurangi biaya produksi barangnya,
khususnya upah untuk buruh Amerika.
Sekelompok
profesor dari beberapa universitas di Amerika kemudian melontarkan ide restrukturisasi
bagi perusahan-perusahaan ini, dengan mengadakan tin-jauan ulang secara
mendasar terhadap kegiatan-kegiat-an perusahaan, baik dalam hal produksi,
pemasaran, maupun kegiatan lainnya. Ide ini mendapat sambutan hangat dari
kalangan investor dan pengusaha Amerika.
Penerapan ide ini secara nyata ternyata mengakibatkan ditutupnya banyak
pabrik dan cabang-cabang perusa-haan Amerika, serta diberhentikannya sejumlah
besar pegawai dan buruh perusahaan dengan pesangon yang besar. Misalnya seperti
yang pernah dilakukan oleh General Motor --perusahaan mobil terbesar di
Amerika-- yang memberhentikan sekaligus 74 ribu karyawannya, atau IBM
--perusahaan komputer terbesar di sana-- yang memberhentikan 60 ribu
karyawannya dalam tiga tahap pada waktu yang hampir bersamaan.
Setelah
mengadakan restrukturisasi, perusahaan-perusahaan ini kemudian mencari
kompensasi dari produksi pabrik yang telah ditutupnya, atau produksi cabang
pabrik yang telah dijualnya di Amerika. Caranya ialah dengan mencari produksi
pengganti yang berasal dari perusahaan-perusahaan kecil yang baru, yang
membayar upah buruh-buruhnya dari dana hutang, di mana buruh-buruh ini terutama
adalah mereka yang terkena PHK akibat restrukturisasi suatu perusahaan. Cara
lainnya, ialah membangun pabrik-pabrik baru dan cabang-cabangnya di luar
Amerika, terutama karena efek samping kebijakan dolar kuat, adalah sangat
murahnya harga dan upah di luar Amerika. Perusahaan-perusahaan ini memusatkan
perhatiannya di negeri-negeri yang miskin dengan penduduk yang berjubel,
seperti Indonesia, Filipina, Thailand, India, Meksiko, dan Brazil, di mana upah
buruhnya per bulan bahkan masih lebih rendah daripada upah buruh pabrik di
Amerika untuk satu atau dua jam saja. Kenyataan seperti ini tidak hanya untuk
upah buruh lokal, tetapi termasuk pula gaji para intelektual dan profesional
lokal, seperti para insinyur dan programer komputer di mana pun juga. Mereka
harus menerima gaji mereka lebih rendah dibanding-kan gaji di Amerika, karena
yang mereka butuhkan adalah sekedar pekerjaan dan gaji (yaitu, asal tidak
menganggur).
Di
Amerika sendiri muncul konflik politik seputar proses restrukturisasi dan PHK
karyawan yang bersifat massal dalam jumlah yang mencengangkan itu. Banyak orang
Amerika berpandangan bahwa pengi-riman tenaga kerja Amerika ke luar negeri
serta dicegahnya mereka yang di Amerika untuk bekerja, berarti telah memutus
mata pencaharian mereka, dan bahwa motif berbagai perusahaan itu tiada lain
hanyalah ketamakan kapitalistik belaka. Perusahaan-perusahaan memban-tah,
karena mereka merasa terpaksa untuk
menjalankan langkah-langkahnya disebabkan adanya kompetisi “global” yang sangat
keras. Mereka menyatakan pula, bahwa tak ada lagi alternatif bagi mereka
kecuali harus berkompetisi dalam skala global dan mengglobali-sasikan
kegiatan-kegiatannya.
Komisi-komisi
dalam Senat dan Kongres Amerika kemudian mengadakan sidang-sidang investasi
ter-buka, untuk meninjau masalah “globalisasi” perusa-haan-perusahaan Amerika
tersebut. Ini dilakukan pertama kali tahun 1989 dan yang terakhir tahun 1992.
Investigasi-investigasi ini menyebabkan tersebarluas-nya istilah “globalisasi”. Kemudian komisi-komisi tersebut meresmikan
istilah ini dengan mencantum-kannya
sebagai judul keputusan-keputusannya pada tahun 1989 dan tahun-tahun
berikutnya. Inilah peng-gunaan istilah “globalisasi” yang pertama kali sebagai
judul buku atau keputusan yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Sejak itu
terbit banyak buku dengan topik “globalisasi” hingga jumlahnya --yang berbahasa
Inggris-- mencapai sekitar 260 buah buku. Sebagian besarnya terbit pada dekade
90-an, pada era Bill Clinton.
Akan
tetapi, di balik itu investigasi-investigasi tersebut ternyata telah mencairkan
stagnasi politik akibat penentangan terhadap PHK karyawan perusa-haan dan
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, juga telah melegitimasi langkah
perusahaan-perusahaan tersebut, serta membuat capai media massa yang menentang
PHK karyawan. Investigasi berakhir tahun
1992, dan belum dilanjutkan lagi sejak saat itu, kendatipun masalah PHK cukup
menimbulkan dampak pada Pemilu pada akhir 1992. Setelah Clinton meme-gang
kekuasaan, Kongres menyetujui kesepakatan NAFTA yang telah dirintis oleh George
Bush dengan Kanada dan Meksiko. Padahal kesepakatan itu memberikan kesempatan
kepada perusahaan-perusa-haan Amerika dan Kanada untuk membuat barang yang
diinginkannya di Meksiko --yang upah buruhnya sangat murah di sana-- kemudian
menjualnya di pasar Amerika dan Kanada.
Inilah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh berbagai asosiasi buruh dan
kelompok-kelompok politik lainnya di Amerika yang menentang
perusahaan-perusahaan tersebut dan menuduh mereka telah mengirimkan tenaga
kerja ke luar Amerika.
Jadi,
konflik politik yang muncul di Amerika ter-masuk perseteruan politik yang
menyertainya seputar PHK massal dan pengiriman tenaga kerja ke luar Amerika,
adalah latar belakang tersebarnya istilah yang kemudian terkenal sebagai
“globalisasi”. Perseteruan politik itu
telah berakhir tahun 1992, dengan kemenangan di pihak kalangan bisnis Amerika
beserta perusahaan-perusahaan mereka.
Kondisi
ini kemudian melahirkan opini umum bahwa tenaga kerja yang profesional,
berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar, tidak boleh keluar dari Amerika.
Tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri haruslah yang hanya mengandalkan
tenaga fisik, dengan pekerjaan rutin yang melelahkan, serta upah yang
pas-pasan. Padahal, ini pun sama sekali tidak mereka inginkan untuk diri mereka
sendiri.
Teropinikan
pula bahwa jika harapan-harapan itu
terwujud, manfaatnya akan kembali juga bagi umum-nya orang Amerika, karena akan
membuat Amerika terspesialisasi sebagai negara industri maju dengan tenaga kerja
yang kerja profesional, berkeahlian tinggi, dan berpenghasilan besar. Dan juga, pengiriman tenaga-tenaga buruh
kasar ke luar negeri, artinya adalah barang akan terkumpul atau dibuat oleh
buruh-buruh asing yang rendah upahnya di luar negeri, kemudian barang itu akan
kembali ke pasar Amerika dengan harga yang sangat murah.
Masalah
ini berakhir secara politis tahun 1992 tatkala Clinton memegang tampuk
kekuasaan tahun 1993 yang kemudian mengubah kebijakan ekonomi luar negeri
Amerika. Pendahulu Clinton --George
Bush-- telah mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan ekspor barang dan
memprakarsai pembentukan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) sebagai pengganti
GATT (Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perda-gangan), untuk membuka pintu
seluas-luasnya bagi ekspor. Tetapi para investor dan kalangan bisnis Amerika
memandang bahwa yang lebih penting dari
peningkatan ekspor, adalah penyempurnaan langkah yang telah dirintis pada akhir
80-an, yaitu restrukturi-sasi yang tuntas terhadap perusahaan-perusahaan, untuk
menggiatkan perusahaan dan meningkatkan kemampuannya menghasilkan laba. Mereka meman-dang pula bahwa restrukturisasi ini, akan memungkin-kan
dikirimkannya para tenaga ahli --bukan hanya barang-- ke luar negeri, di
samping memungkinkan Amerika untuk terjun dalam kompetisi yang sangat ketat
melawan perusahaan-perusahaan non-Amerika.
Para investor juga melontarkan ide-ide
lain kepada Clinton dan menginginkan agar Clinton mengadopsi-nya. Mereka
mengatakan, ketika Amerika bertahun-tahun melancarkan Perang Dingin dan
memegang tanggung jawab internasional lainnya, Eropa dan Jepang telah berhasil
memperkokoh kekuatan ekonominya, sehingga menjadi ancaman bagi
kepentingan-kepentingan vital Amerika. Padahal Perang Dingin telah berakhir,
sehingga Amerika wajib mempersiapkan kemampuannya untuk bersaing dengan Eropa
dan Jepang, serta mulai menyaingi keduanya dengan kekuatan penuh. Amerika juga tidak perlu lagi menjaga
kepentingan Eropa dan Jepang seperti pada saat Amerika melancarkan Perang Dingin.
Demikian pendapat para investor itu. Bahkan, mereka menyerukan untuk
mengaktifkan dinas intelijen Amerika untuk memata-matai perekonomian Eropa dan
Jepang beserta perusahaan-perusahaannya, setelah sebelumnya kurang terpakai
untuk itu karena adanya Perang Dingin dan masalah-masalah politik lainnya.
Menyambut
berbagai ide dan opini tersebut, Clinton dan Menteri Keuangan Robert Rubin --yang juga salah seorang pengusaha besar di
Wall Street-- mengadopsi kebijakan yang menyerukan dibukanya pasar-pasar dunia
seluruhnya, tidak hanya untuk meningkatkan ekspor Amerika, tetapi juga untuk
memungkinkan perusahaan-perusahaan Amerika ber-produksi di mana pun selama
tenaga kerjanya murah, memasarkan jasa-jasa dan komoditas industrinya di
Amerika dan di mana saja selama Amerika ingin eksis di pasar
internasional. Tetapi yang ter-penting,
adalah kebijakan keduanya untuk menggiatkan perusahaan-perusahaan keuangan
Amerika --yaitu beraneka macam bank, perusahaan asuransi, dan kantor pialang
saham-- untuk menembus pasar-pasar modal
di luar Amerika. Ini adalah hal baru, sebab strategi ini belum pernah dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan tersebut di luar Amerika dalam zona yang sangat
luas, di mana sebelumnya kedatangan mereka di kebanyakan negeri tidak pernah
disambut baik disebabkan aktivitasnya yang berbahaya. Karena, perusahaan-perusahaan keuangan pada
tabiatnya selalu berupaya untuk
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, premi asuransi, dana saham
dan obligasi, sehingga terjadi akumulasi dana yang sangat besar pada perusahaan
keuangan tersebut, yang kemudian dapat dia kelola sesuai kehendaknya.
Para
investor itu senantiasa dihantui oleh suatu ide bahwa segera setelah
berakhirnya Perang Dingin, dunia mau tak mau akan terbagi menjadi 3 (tiga) zona
kekuatan ekonomi raksasa; Pertama, zona yang meliputi Eropa
secara keseluruhan yang akan didominasi negara-negara Eropa Barat, Kedua,
zona yang meliputi sebagian besar Asia, yang akan dikuasai oleh Jepang, Ketiga,
zona yang meliputi benua Amerika, yakni Amerika Utara dan Amerika Latin, yang akan
dikuasai oleh Amerika Serikat Mereka cemas kalau ide ini menjadi kenyataan.
Karena itu, mereka menyerang ide ini dengan ganas dan mencapnya sebagai ide
yang bersifat regional belaka. Mereka mengisyaratkan bahwa Eropa dan Jepang-lah
yang berada di balik sosialisasi ide tersebut.
Para
investor itu kemudian melontarkan ide penggantinya, yaitu bahwa dunia telah
menjadi satu, dan bahwa tak ada seorang pun yang lebih berhak dari yang lain
untuk mendapatkan sebagian dari padanya. Semua pihak berhak untuk saling
bersaing dimana pun juga. Mereka mempropagandakan ide ini melalui serangan
media massa yang sangat intensif.
Pemerin-tahan Clinton pun akhirnya mengadopsi ide ini. Karena itu mereka
lalu menerbitkan banyak buku, di antaranya buku yang membicarakan “globalisasi”
kegiatan-kegiatan perusahaan Amerika.
Serangan media massa di Amerika itu
berhenti ketika pemerintahan Clinton
mengadopsi ide teersebut pada awal masa pemerintahannya. Namun serangan itu
terus berlangsung ke luar Amerika di bawah kendali pemerintahan Clinton beserta
lembaga-lembaga pelak-sananya. Di luar
Amerika, khususnya di negara-negara yang disebut “negara-negara berkembang”,
serangan media massa tetap berlangsung masif, yang akhirnya menyibukkan para
penduduknya untuk memikirkan ide-ide yang dangkal dan mengecoh, dengan
ungkapan-ungkapan yang tidak jelas dan
lemah, disertai banyak pemutarbalikan fakta yang tidak bermutu dan
terasa aneh bin ajaib. Akibatnya, banyak
orang yang kebi-ngungan menghadapi ide “globalisasi”.
Meskipun
terdapat kekacauan pada ide-ide yang dilontarkan dalam serangan media massa
tersebut, tetapi serangan ini memang telah terencana secara sentral untuk
mencapai hasil-hasil tertentu, yaitu membentuk dan membuat opini umum agar
masyarakat membuka pintu yang seluas-luasnya terhadap segala kegiatan
perusahaan-perusahaan Amerika dalam serangannya yang total guna memetik
hasil-hasil kemenangan Perang Dingin. Selain itu juga agar Amerika dianggap
lebih berhak menguasai pasar tersebut daripada Eropa dan Jepang.
Sangat
disayangkan, serangan tersebut ternyata telah berhasil mencapai
target-targetnya, di samping telah makin memantapkan para penguasa yang
cen-derung kepada Barat untuk membius bangsanya sendiri dalam menghadapi serangan
terbaru Amerika dalam upayanya untuk menembus negeri-negeri mereka. Upaya ini
bertujuan untuk membuka pasar
negeri-negeri tersebut terhadap barang
buatan Amerika, memanfaatkan tenaga buruhnya yang murah-meriah demi
kepentingan Amerika, mengalirkan harta kekayaan bangsanya ke dalam kantong
perusahaan-perusahaan keuangan Amerika, serta mengendalikan pasar-pasar
modalnya untuk kepentingan usaha Amerika.
Ide-ide
yang dijajakan dengan kedok “globalisasi” yang dilontarkan Amerika ke luar
negeri, khususnya negara-negara Dunia Ketiga, antara lain :
· Setelah hancurnya Uni
Soviet, tak ada lagi di dunia ini selain sistem ekonomi Barat yang mereka
nama-kan “Sistem Ekonomi Pasar”, untuk menggantikan namanya yang sebenarnya,
yaitu “Sistem Ekonomi Kapitalis”, yang patut diingat kerakusannya dan
reputasinya yang sangat buruk sekali. Dikatakan bahwa seluruh negeri-negeri di
dunia kini telah menerapkan sistem tersebut, atau minimal berhasrat dan berupaya untuk menerapkannya.
· Dunia modal
seluruhnya telah menjadi satu, sebab para pemiliknya mampu memindahkannya ke negeri
mana pun atau mampu menanamkannya di bidang investasi mana pun dengan
keuntungan yang lebih besar daripada pihak lain. Dikatakan bahwa pemindahan
modal ini dapat berlangsung secepat kilat karena dimudahkan oleh sarana-sarana
komunikasi yang cepat, dan bahwa modal ini tak akan diinvestasikan di
negeri-negeri yang membuat penghalang-penghalang untuk menghambat aliran modal.
· Dunia kerja
seluruhnya juga telah menjadi satu. Tetapi perusahaan-perusahaan yang mereka
katakan berasal dari bermacam-macam negara, sebenarnya tidak demikian faktanya.
Karena, perusahaan induknya (holding company) tetap berasal dari satu
negara saja dan tak mungkin kecuali berasal dari satu negara.
Perusahaan-perusahaan ini dikatakan ber-kemampuan memproduksi atau memasarkan
barang dalam skala global, sehingga negeri mana pun yang sedang giat membangun
akan menyambut perusahaan-perusahaan tersebut untuk membuka lapangan kerja bagi
rakyatnya, atau untuk memasar-kan produk-produknya. Jika tidak mau, perusahaan
itu akan berpaling menuju negara lain.
· Sarana-sarana
komunikasi di seantero pelosok dunia seluruhnya telah sempurna dan saling ber-hubungan
secara kompleks sedemikian rupa, sehingga tak ada satu pihak pun yang dapat
mendo-minasinya. Dikatakan bahwa saling keterkaitan ini akan menimbulkan
kondisi di mana informasi yang diterima masyarakat hampir sama, bahkan berbagai
pendapat dan perasaan mereka pun hampir-hampir homogen.
Inilah
beberapa ide “globalisasi” yang dijajakan di negara-negara Dunia Ketiga.
Tujuannya adalah agar Dunia Ketiga menyambut gembira kedatangan modal dan
tenaga kerja asing, mengambil rekomendasi para pemilik modal dan tenaga kerja
itu untuk mengoreksi berbagai undang-undang di negaranya, serta melaku-kan privatisasi
badan usaha milik negara (BUMN), agar
Amerika dapat dengan mudah membelinya. Mereka mengatakan bahwa tak ada
alternatif lain di luar pilihan-pilihan tersebut, jika kita memang ingin
menyusul rombongan dunia seluruhnya untuk meng-globalisasikan modal dan tenaga
kerja. Kalau tak ikut rombongan, kita akan tetap terbelakang, kata mereka.
Maka,
jangan sampai ada seorang pun yang lalai dari pengaruh seruan dan propaganda
yang memutar-balikkan fakta ini, dari kedok “globalisasi” yang di-gunakan untuk
menutupi hakikat sebenarnya di negeri mana pun yang sedikit di dalamnya
orang-orang yang sadar dan bertanggungjawab, dari kecenderungan penduduknya
untuk mengikuti seruan-seruan tersebut dari media massa, serta dari meratanya
ketidaktahuan akan masalah ini!
Oleh
karena itu, bukan hal yang aneh bila kita membandingkan propaganda
“globalisasi” ini dengan serangan Kristenisasi pada abad lampau, maka se-rangan
kali ini lebih berbahaya daripada serangan sebelumnya. Sebab serangan kali
ini sekalipun tidak memakai kedok agama,
namun tak dapat dipungkiri, sebenarnya lebih mengerikan. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar